Pers Indonesia Tidak Baik-Baik Saja

Pers Indonesia Tidak Baik-Baik Saja

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

PRESIDEN Joko Widodo mengatakan, pers Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Hal itu diungkapkannya ketika memberikan sambutan pada puncak peringatan Hari pers Nasional (HPN) di Medan (9/2). Jokowi galau karena sekarang pers berkualitas tergerus oleh gelombang serbuan media sosial yang menyebarkan berita-berita tidak bermutu.

Jokowi melihat kemunculan platform-platform digital menggerus berita yang berkualitas. Dan, yang tidak kalah seram, platform digital menyedot pendapatan iklan media mainstream sampai 60 persen. Disrupsi digital yang dahsyat itu telah membuat banyak media cetak gulung tikar dan bermigrasi menjadi media online.

Platform digital menjadi berkah dan sekaligus bencana dari perusahaan media yang sudah menikmati status quo puluhan atau bahkan ratusan tahun. Kemunculan platform digital merevolusi praktik distribusi dan sirkulasi media, termasuk praktik pencarian iklan yang selama ini menjadi jantung kehidupan media.

Ada tiga platform digital yang menjadi raja dalam bisnis digital global sekarang ini. Mereka adalah Facebook yang menguasai jagat media sosial, Google yang menjadi raja mesin pencari atau search engine, dan Amazon yang mendominasi dunia e-commerce. Trio FGA (Facebook, Google, Amzon) itu bukan perusahaan media, tetapi memperoleh keuntungan triliunan dolar dari bisnis media.

Tiga perusahaan transnasional itu mengeklaim sebagai perusahaan teknologi dan tidak mau disebut sebagai perusahaan media dengan segala konsekuensi profesional dan etiknya. Padahal, dalam praktiknya, tiga perusahaan tersebut telah menjarah lahan garapan media konvensional.

Inilah ciri khas disrupsi digital yang membuat dunia tunggang langgang. Muncul banyak perusahaan teknologi yang menyerobot lahan garapan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Gojek dan Grab menjadi perusahaan layanan transportasi terbesar di dunia tanpa memiliki satu unit kendaraan pun.

Bukalapak dan Tokopedia menjadi penjual ritel terbesar di Indonesia tanpa punya satu gerai toko pun. Airbnb menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia tanpa punya satu hotel pun.

Industri media juga menghadapi disrupsi yang sama. Trio FGA menjadi ”perusahaan media” yang tidak mempunyai satu media penerbitan pun. Nasib perusahaan media di seluruh dunia sama saja dengan nasib hotel, perusahaan transportasi, dan outlet penjualan di seluruh dunia, yang harus menyesuaikan diri dengan praktik bisnis baru yang dikembangkan platform digital.

Penerbit media massa tidak punya pilihan lain selain mengalah kepada platform digital untuk melakukan distribusi konten, penggalian data pengguna, dan layanan periklanan. Tiga hal itu menjadi napas media massa, dan menyerahkan operasional tiga hal itu sama saja dengan menyerahkan leher kepada lawan.

Itulah realitas yang terjadi sekarang. Trio FGA sudah menjadi penguasa dominan yang membuat para pengelola media harus rela berbagi kekuasaan. Mau tidak mau pengelola media harus masuk ke ekosistem yang diciptakan platform digital untuk menjamin konten berita bisa dibaca oleh konsumen media.

Dalam praktiknya, platform digital bertransformasi menjadi penerbit. Yang terjadi bukanlah transformasi, melainkan kolonialisasi dan bahkan imperialisme. Perusahaan platform menjarah ranah yang selama ini menjadi lahan penerbit. 

Perusahaan platform melalui search engine dan media sosial mendominasi distribusi konten. Mayoritas konsumen media mengakses berita dari platform media dan hanya sedikit yang mengakses langsung ke jaringan penerbit.

Perusahaan platform tidak hanya mengakumulasi berita, tapi sekaligus melakukan kurasi terhadap seluruh berita untuk disajikan kepada konsumen media sesuai dengan standar platform. Dalam proses ini, perusahaan platform mempergunakan algoritma yang bekerja dengan logikanya sendiri, yang sangat berbeda dengan logika penerbit yang menerapkan standar kualitas jurnalisme.

Mesin algoritma bekerja dengan logika mesin. Perusahaan platform menguasai aturannya dan perusahaan media hanya bisa menyerah dan manut. Setiap saat perusahaan platform bisa mengubah standar operasional Mesin algoritma, dan perusahaan media harus buru-buru menyesuaikan diri dengan standar baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: