Endang Titis Bodro Triwarsi, Rohaniwan Konghucu Bersuku Jawa (1) : Penasaran Resep Sukses Warga Tionghoa
Reporter:
Guruh Dimas Nugraha|
Editor:
Doan Widhiandono|
Minggu 23-04-2023,19:57 WIB
Endang Titis Bodro Triwarsi bersembahyang ke TITD Poo An Kiong, Blitar.-Julian Romadhon-Harian Disway-
Endang Titis Bodro Triwarsi adalah satu dari sedikit rohaniwan Konghucu dari Suku Jawa. Bisa jadi dia adalah satu-satunya perempuan rohaniwan di Indonesia. Bagaimana awal mula ketertarikannya terhadap agama Konghucu?
KELUARGA kecil itu menyusuri setapak berbatu. Lereng Gunung Putri. Menuju Pasar Klesem, Desa Cempedak, Purworejo.
Di rombongan itu ada pria paruh baya berkumis tebal, berperawakan gagah dengan baju lurik. Membawa beberapa bungkusan sayur dan buah-buahan.
Perempuan berkebaya di sebelah kiri membawa bumbu-bumbu masakan dalam keranjang bambu. Menggandeng putri kecilnya, Titis. “Kemarin sudah kulakan di Akoh. Tapi nanti Akoh-nya datang ke tempat kita, bawa barang-barang lagi. Kamu bisa cerita-cerita wayang sama dia, Nduk,” kata ibunya. Titis mengangguk. Tersenyum.
Anak kecil itu selalu gembira jika diajak kulakan, atau bertemu dengan Akoh, panggilan seorang Tionghoa pengusaha bumbu makan dan sayur-sayuran. Selain wayang, Titis gemar didongengi tentang dewa-dewi atau kisah rakyat dari dataran Tiongkok.
Apalagi hari itu, penanggalan Jawa menunjuk pasaran Pon. Hari libur pula. Pasar Klesem, tempat ibunya berjualan sedang buka. Pasar itu memang hanya tersedia setiap pasaran Pon dan Kliwon. Tak setiap hari.
Maka pagi-pagi betul, mereka sekeluarga berangkat ke pasar sembari membawa barang dagangan. Setelah sampai di lapak mereka yang tersusun dari bambu dan meja kayu, sekeluarga mereka menata barang dagangan. Setelah itu, yang dilakukan hanya menunggu pembeli.
Jelang pukul 07.00 pengusaha Tionghoa itu datang bersama istrinya. Mereka cukup gembira karena melihat Titis di sana. Di antara sembilan saudaranya yang lain, anak perempuan itu yang paling antusias terhadap cerita wayang, cerita rakyat, dan filsafat Tiongkok. Apalagi dia adalah anak yang kritis.
Ketertarikan itulah yang membuat Titis kelak mendalami dan mengimani Konghucu. Bahkan menjadi rohaniwan. Pernah suatu kali ibunya penasaran terhadap kegemaran anak keempatnya itu. Dia hanya menjawab lugu, dan balik bertanya, “Aku senang cerita-cerita itu. Tapi yang bikin aku penasaran, kok bisa ya, orang-orang seperti Akoh begitu bisa kaya? Punya uang banyak. Beda dengan kita, orang Jawa.”
Ibunya hanya tersenyum. “Ya mereka memang pekerja keras,” jawabnya. Maka sebenarnya, salah satu ketertarikan awal Titis terhadap Konghucu, adalah karena penasaran dengan kemampuan orang-orang Tionghoa pemeluk agama tersebut. Mereka bisa kaya, mungkin karena termotivasi dari budaya, filsafat atau ajaran agama yang ditekuninya.
Dalam hati, Titis saat itu berkesimpulan bahwa jika ingin kaya seperti orang Tionghoa, maka dia harus mendalami agama Konghucu. Agama yang dianut Akoh dan orang-orang Tionghoa yang sukses itu.
Titis (kiri) berdoa di kompleks Candi Simping, Blitar.-Julian Romadhon-Harian Disway-
Rasa penasaran Titis pun tak tertahankan lagi. Apalagi saat mengetahui Akoh dan istrinya datang. Dia memberanikan diri bertanya tentang mengapa mereka bisa sukses. Istri Akoh tersenyum, sembari mengunyah sirih, tampak giginya yang putih bersih dengan bercak-bercak merah. “Ya harus bekerja keras, Nduk. Kalau santai-santai di rumah, enggak bakal dapat apa-apa,” katanya.
Akoh, suaminya, tersenyum. “Kamu kan pernah saya ceritai soal Pandawa dan Kwan Kong, to, Nduk? Sebelum sukses, bisa menang perang, mereka menjalani penderitaan dulu. Bersakit-sakit, berdarah-darah dulu,” ujarnya.
Titis mengerti, namun tak memahami konteksnya. Bukankah saat ini dia dan keluarganya sudah bekerja keras? Ibunya berjualan, bapaknya jadi guru. Tapi tetap saja tak bisa sesukses orang-orang Tionghoa. “Kuncinya sabar. Telaten, berjuang terus. Nanti kalau Thian atau Tuhan sudah berkenan, kamu pasti sukses,” kata istri Akoh sembari menurunkan barang-barang dari becaknya.
“Ah, begini, ingat kata-kata saya ya, Nduk Titis,” sahut Akoh. Kemudian ia menunduk di depan gadis kecil itu. Memegang pipinya.
“Kalau orang lain bisa 1 kali, saya harus bisa 10 kali. Kalau orang lain bisa 10 kali, saya harus bisa 100 kali. Kalau orang lain bisa 100 kali, saya harus bisa seribu kali. Camkan itu, Nduk,” kata Titis.
Ingatan itu terbayang dalam benak Titis hingga kini. Kenangan yang membuatnya termotivasi untuk belajar, hingga mendalami agama Konghucu.
“Ya, itulah motivasi awal saya. Kekaguman terhadap semangat orang-orang Tionghoa,” ujarnya, sembari membentangkan masker putih. Lantas dikenakan. Pagi itu, 25 Januari 2023, dia hendak memimpin ibadah turunnya Para Suci di bangunan ruko yang jadi tempat sementara peribadatan umat Tri Dharma Kelenteng Poo An Kiong, Blitar.
Sebelum memimpin ibadah, dia menyempatkan berbincang sejenak dengan saya. Dupa dinyalakan, Titis melangkah ke altar Thian. Rohaniwan itu memimpin ibadah umat, yang sebagian besar adalah warga Tionghoa. (Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: