PSSI dan Korporatisme Negara

PSSI dan Korporatisme Negara

Ketua Umum PSSI Erick Thohir.-Foto/Instagram/Erickthohir-

ERICK Thohir terpilih sebagai ketua umum PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) dalam kongres luar biasa di Jakarta (16/2). Erick mengalahkan La Nyalla Mattalitti. Ia memperoleh 64 suara dan La Nyalla 22 suara. Terpilihnya Erick sudah diprediksi jauh-jauh hari. Sebab, ia dianggap mempunyai sumber resource yang besar untuk memimpin PSSI.

Terpilihnya Erick makin meneguhkan pandangan bahwa PSSI sudah menjadi bagian dari korporatisme negara. Erick menjabat menteri BUMN dan dikenal sebagai salah satu orang dekat Presiden Jokowi. Masuknya Erick ke PSSI tentu atas izin dan restu Jokowi dan ada misi khusus yang diemban Erick.

Sebagai organisasi olahraga yang mengurusi olahraga paling populer di Indonesia, PSSI seharusnya bisa mandiri dan bebas dari pengaruh negara. Namun, dalam praktiknya, PSSI selalu bergantung kepada negara. Figur-figur yang memimpin PSSI selalu datang dari figur negara, terutama menteri.

Di era Orde Baru, PSSI dipimpin figur-figur negara termasuk menteri. Misalnya, Azwar Anas. Di era reformasi, PSSI juga tetap mengandalkan figur kuat seperti Eddy Rahmayadi dan Mochamad Iriawan. Tradisi itu berlanjut dengan terpilihnya Erick Thohir. Itulah yang makin meneguhkan pandangan bahwa PSSI sudah terkooptasi oleh negara dan menjadi bagian dari korporatisme negara.

Korporatisme adalah teori dan praktik pengorganisasian masyarakat menjadi sebuah korporasi yang tunduk kepada negara. Korporatisme lazim terjadi dalam sistem yang tidak demokratis seperti rezim fasisme Hitler Jerman dan Mussolini di Italia.

Dalam sistem yang demokratis, organisasi kemasyarakatan adalah bagian dari civil society yang mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan. Masyarakat sipil yang mandiri itu akan membuat posisi masyarakat cukup kuat, atau setidaknya seimbang, vis a vis pemerintah.

Civil society yang sehat akan menjadi basis yang kokoh bagi demokrasi yang sehat. Negara yang terlalu kuat akan mendominasi civil society dan melahirkan ketergantungan masyarakat sipil terhadap negara. Dengan kondisi seperti itu, pemerintah bisa mendiktekan kehendaknya terhadap masyarakat sipil. Hal tersebut memunculkan relasi kuasa yang jomplang sehingga kontrol terhadap pemerintah lemah.

Kontrol masyarakat sipil yang lemah itu membuat pemerintah makin dominan sehingga pada akhirnya demokrasi tidak berjalan dengan sehat. Di negara-negara demokrasi yang sudah matang, asosiasi-asosiasi masyarakat, dalam bentuk berbagai organisasi kemasyarakatan, menjadi kekuatan yang mandiri yang membuat posisi masyarakat lebih kuat di mata pemerintah.

Di negara-negara yang pengelolaan olahraganya sudah maju, peran pemerintah sebatas membuat regulasi dan melakukan pengawasan. Pemerintah tidak campur tangan dalam pengelolaan organisasi olahraga secara langsung. Di negara-negara Eropa, tidak akan ada menteri BUMN yang menjadi ketua federasi sepak bola. Juga, tidak ada menteri pemuda dan olahraga yang menjadi pengurus federasi olahraga.

Masuknya Erick Thohir dan Zainudin Amali sebagai ketua umum dan wakil ketua umum PSSI menunjukkan syahwat pemerintah yang besar untuk mengontrol sepak bola di Indonesia. Erick dan Zainudin memang menjadi darah baru di PSSI, tetapi anggota ”kabinet” yang terpilih nyaris tidak ada darah baru yang signifikan.

Orang-orang lama masih mendominasi anggota komite eksekutif (exco) yang bakal mendampingi Erick Thohir. Sumber penyakit menahun yang merusak PSSI adalah terjadinya konflik kepentingan antara pengurus PSSI dan para pemilik-pengelola klub. 

Selama ini PSSI tidak bisa tegas terhadap konflik kepentingan itu. Sebagian besar anggota komite eksekutif –kalau tidak semuanya– punya kepentingan pribadi terhadap klub yang berkompetisi di lingkungan PSSI. Sebagian anggota komite eksekutif di kabinet Erick sekarang ini adalah pemilik klub.

Dari daftar anggota exco yang terpilih,  bisa disimpulkan bahwa Erick tidak bisa lepas dari jaringan lama. Separuh dari anggota exco adalah stok lama. Salah satu rekomendasi dari tim independen yang dibentuk menyusul tragedi Kanjuruhan adalah ketua PSSI dan semua anggota exco mengundurkan diri. Namun, dalam praktiknya, hanya Ketua Umum PSSI M. Iriawan dan Wakil Ketua Iwan Budianto yang mundur. Anggota-anggota exco lama kembali maju meski tidak semuanya terpilih lagi.

Itulah yang menjadi sorotan para aktivis sepak bola di Indonesia. Selama ini, pola pergantian kepemimpinan di PSSI selalu sama saja. Ketua PSSI berganti, tapi pengurus-pengurus lama tetap bercokol. Itulah yang membuat Eddy Rahmayadi terjungkal dari posisi ketua umum. Itu pula yang membuat M. Iriawan terlempar dari kursi ketua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: