Menjaga Bahasa, Menjaga Budaya: Refleksi Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional

Menjaga Bahasa, Menjaga Budaya: Refleksi Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

FEBRUARI, selain dikenal sebagai bulan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day), juga dikenal sebagai bulan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day) yang jatuh setiap 21 Februari

Bagi beberapa masyarakat, mungkin Hari Bahasa Ibu Internasional itu tidak begitu populer. Namun, di kalangan masyarakat yang bergelut dengan dunia kebahasaan, kebanyakan sudah mengenal adanya peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Mungkin ada pertanyaan, Hari Bahasa Ibu Internasional itu apa, bagaimana latar belakang munculnya peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional itu, dan mungkin banyak pertanyaan yang muncul di benak masyarakat

Menurut sejarahnya, peringatan terhadap Hari Bahasa Ibu Internasional itu berasal dari kisah heroik permasalahan bahasa di Bangladesh. Menurut berbagai sumber tentang sejarah, peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional kali pertama diumumkan pada 17 November 1999 yang secara resmi diakui Majelis Umum PBB dan telah diperingati setiap tahun sejak 2000.

Gagasan munculnya peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional itu berasal dari Bangladesh karena adanya permasalahan bahasa di Pakistan Barat dan Pakistan Timur (saat ini Bangladesh). Dua daerah tersebut berbeda dalam hal budaya, bahasa, dan sebagainya. 

Pada 1948 pemerintah Pakistan mendeklarasikan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional Pakistan meski bahasa Bengali atau Bangla digunakan mayoritas orang yang menggabungkan Pakistan Barat (Pakistan) dan Pakistan Timur (Bangladesh). 

Rakyat Pakistan Timur memprotes, menuntut agar bahasa Bangla dijadikan setidaknya salah satu bahasa nasional selain bahasa Urdu. Para mahasiswa memprotes dan melakukan demonstrasi. Pada 21 Februari 1952 polisi melepaskan tembakan terhadap para demonstran. Akibatnya, beberapa mahasiswa tewas dan ratusan terluka. Itu merupakan kejadian dalam sejarah saat orang-orang mengorbankan jiwanya demi bahasa ibu mereka. 

Sejak saat itu negara Bangladesh merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional dan menetapkannya sebagai hari libur nasional. Peringatan tersebut kemudian diumumkan UNESCO pada November 1999. 

Resolusi Hari Bahasa Ibu Internasional tersebut disarankan oleh seorang Bangli yang tinggal di Vancouver, Kanada. Tokoh tersebut menulis surat kepada (mantan) Sekjen PBB Kofi Annan pada 9 Januari 1998 dan memintanya untuk mengambil langkah dalam rangka menyelamatkan bahasa-bahasa di dunia dari kepunahan dengan mendeklarasikan International Mother Language Day. 

Akhirnya, ditetapkanlah 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional untuk memperingati dan mengenang peristiwa yang terjadi di Dhaka, Bangladesh, pada 1952 untuk gerakan bahasa. Majelis Umum PBB kemudian meminta negara-negara anggotanya untuk mempromosikan pelestarian dan perlindungan semua bahasa yang digunakan orang-orang di seluruh dunia. 

Dalam resolusi tersebut, PBB menyatakan tahun 2008 sebagai tahun bahasa internasional untuk mempromosikan persatuan dalam keanekaragaman dan pemahaman internasional melalui multibahasa dan multikulturalisme. Di samping itu, peringatan tersebut untuk meningkatkan kesadaran akan keberagaman bahasa dan budaya di dunia. 

Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional dilakukan dengan berbagai kegiatan, terutama seminar-seminar yang fokusnya melestarikan bahasa ibu dan mengkaji keberagaman bahasa ibu atau bahasa daerah yang ada di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. 

Indonesia adalah negara multilingual dengan ratusan bahasa daerah. Oleh karena itu, peringatan Hari Bahasa Ibu sangatlah penting lantaran saat ini banyak sekali bahasa ibu (bahasa daerah) yang hampir punah gara-gara gempuran modernitas dan globalisasi. Kemajuan teknologi juga sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa ibu (bahasa daerah) di Indonesia. 

Di tengah kemajuan zaman seperti itu, tentu kita tidak boleh melupakan akar budaya, terutama bahasa daerah, sebagai bahasa ibu yang telah ada. Sebab, bahasa daerah mengandung nilai-nilai yang sangat luhur yang perlu tetap dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat. Itulah kearifan lokal yang perlu terus digali di samping tetap menikmati kebudayaan yang modern. Melupakan kearifan lokal yang ada berarti mengingkari eksistensi warisan budaya nenek moyang yang sangat bernilai tinggi. 

Menurut Ethnologue (2016), di Indonesia terdapat 719 bahasa. Perinciannya, 707 bahasa masih hidup dan digunakan sebagai alat komunikasi serta 12 bahasa punah. Profil status vitalitas 719 bahasa tersebut: 18 institusional/institutional; 86 berkembang/developing; 261 kuat/vigorous; 266 bermasalah/in trouble; 76 sekarat/dying; dan 12 punah/extinct

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: