Mario vs David, Hilangnya Sikap Kesatria
-Ilustrasi: Annisa Salsabila - Harian Disway-
Problem baru muncul jika satu anak lelaki merasa diperlakukan salah atau tidak dihargai oleh anak laki lain. Saat itulah, bentuk permainan bisa berubah dari agresif persahabatan menjadi kekerasan .
Saat itulah, ortu anak lelaki yang berperilaku tidak menghargai teman lelakinya menasihati, bahwa anak tersebut sudah melanggar batas. Yakni, niat tidak menghargai teman itu adalah menyakiti (hati) temannya. Itu perilaku salah. Sebab, anak yang tersakiti bakal membalas. Akhirnya terjadi kekerasan. Bisa brutal. Sebab, mereka keturunan pemburu mammoth.
”Bergurau keras secara fisik biasa bagi lelaki. Di situlah mereka menjalin sahabat. Dalam damai. Tapi, kalau niatnya menyakiti, itu melanggar batas,” tegas Dent.
Pelajaran paling menarik dari buku Dent adalah ini: ”Teman bukan milikmu. Sehingga kelak, pacar atau pasangan romantis juga bukan milikmu. Mereka (pacar) mungkin memilihmu untuk menjalin hubungan. Dan, ya... pada saat itu pacar memperlakukanmu istimewa. Kamu adalah segalanya. Tapi, begitu hubungan itu bubar, pacar tidak berutang apa pun padamu.”
Jadi, mengelola penolakan pertemanan di awal kehidupan (balita) dan membantu anak lelaki memahami ”kepemilikan” sangat penting. Jika pelajaran itu diberikan, lelaki tersebut setelah remaja dan dewasa kelak sudah jago manajemen diri. Terhadap mantan pacar, ia tidak bakal menguntit, melecehkan, atau melakukan kekerasan fisik. Akhir hubungan teman adalah biasa. Teman datang dan pergi secara bebas.
Juga, dilarang membuat teman menghamba karena sering diberi sesuatu. Misalnya, permen. Karena jika itu dilakukan, anak yang ortunya miskin bakal menghamba pada anak yang ortunya kaya. Itu terjadi kalau si anak kaya suka memberikan permen kepada anak miskin dengan niat dalam hati untuk memanfaatkan.
Terakhir, jika suatu saat anak lelaki berkelahi lawan lelaki (karena keturunan pemburu mammoth), harus seimbang. Dalam hal usia dan bobot tubuh. Juga, sama-sama siap bertarung. Seperti dalam aturan pertandingan tinju. Dan, stop ketika lawan mengaku kalah. Seperti dalam duel Mixed Martial Arts (MMA), petarung yang menyerah melakukan tap. Memukul-pukul lantai atau badan lawan.
Itu tidak terjadi pada Mario versus David. Juga, pada jutaan anak lelaki Indonesia yang merundung teman dengan cara tidak seimbang. Tidak kesatria. Cuma, karena jutaan anak lelaki pem-bully dan yang di-bully itu bukan ”anak siapa-siapa”, kasusnya lenyap bagai tertiup angin. Karena syarat utama keadilan zaman now adalah viral.
Pastinya, ortu Mario, terlebih David, sangat sedih sekarang. Segalanya tak seperti dulu lagi. Hancur-hancuran. Bisa jadi mereka sadar, bahwa mereka alpa mendidik anak secara benar dan beradab. Atau, justru bermusuhan lebih gila lagi. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: