Pos Polisi dan Tiang Hambat Pejalan Kaki

Pos Polisi dan Tiang Hambat Pejalan Kaki

Pos Lantas yang menghalangi akses pejalan kaki di trotoar depan Tunjungan Plaza, Jalan Basuki Rahmat, Surabaya, Jawa Timur.-Moch Sahirol Layeli-

SURABAYA, HARIAN DISWAY- Populasi penduduk Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Banyak predikat yang melekat. Terakhir, diganjar sebagai negara dengan penduduk paling malas jalan kaki.

Predikat itu disematkan dari hasil studi para peneliti Stanford University pada 2022. Penelitian tersebut menggunakan Argus, aplikasi pemantau di telepon seluler. Para peneliti itu menggunakan data menit per menit dari 700.000 orang di seluruh dunia.

Hasilnya, rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.513 langkah per hari. Menempati posisi terakhir dengan jumlah paling sedikit. Bertengger bersama Arab Saudi sebanyak 3.807, Malaysia 3.963, dan Filipina 4.008 langkah per hari.

Tentu hasil tersebut tak mengejutkan. Apalagi jika dilihat dari kebiasaan mobilitas warga Indonesia. Lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi. Itu juga dibuktikan dari banyaknya titik kemacetan di kota besar.

Di sisi lain, penelitian itu menempatkan penduduk Hong Kong sebagai juara. Paling rajin jalan kaki. Masyarakat Hong Kong rata-rata menempuh 6.880 langkah atau 6 km per hari. Posisi berikutnya Tiongkok dengan rata-rata masyarakat berjalan kaki 6.189 langkah per hari. Kemudian, ada Ukraina 6.107, Jepang 6.010, dan Rusia 5.969.

Studi yang diterbitkan di jurnal Nature itu juga menemukan sejumlah fakta. Salah satunya, adanya kesenjangan di setiap negara antara penduduk yang paling rajin beraktivitas dan paling malas. Makin besar kesenjangan di negara tersebut, makin besar pula taraf obesitas di antara penduduk.

Swedia, misalnya, kesenjangan aktivitas antara si malas dan si rajin sangat rendah. Hasilnya, negara tersebut memiliki tingkat obesitas yang lebih rendah. 

Kedua, kesenjangan aktivitas didorong berdasar gender. Di negara yang penduduknya paling malas berjalan kaki, wanita cenderung lebih malas ketimbang pria. Sementara itu, di negara yang rajin berjalan kaki seperti Jepang, wanita dan pria berjalan kaki dengan jumlah yang sama setiap hari.

Hasil studi itulah yang dijadikan salah satu bahan oleh Komunitas Pejalan Kaki (Kopeka) Surabaya. ”Aktivitas jalan kaki ini sebetulnya dipengaruhi budaya dan fasilitas yang memadai,” kata Koordinator Kopeka Surabaya Aditya Iksan saat dihubungi Harian Disway, Senin, 20 Maret 2023.


Lift Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Jalan Basuki Rahmat yang hampir menutupi akses pejalan kaki.-Moch Sahirol Layeli-

Menurutnya, warga di negara-negara tertentu memang punya budaya jalan kaki yang baik. Sebut saja Jepang, Prancis, dan Belanda. Mereka lebih mengandalkan jalan kaki dan sepeda ketimbang motor atau mobil.

Di Indonesia, kata Aditya, warga di sejumlah kota juga ada yang rajin jalan kaki. Misalnya, Jakarta, Solo, dan Semarang. Penggunaan transportasi publik di tiga kota itu juga maksimal.

Namun, warga Kota Surabaya masih jauh di bawah tiga kota tersebut. Selain budaya, Kopeka Surabaya menyoroti fasilitas. Terutama pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi di trotoar.

”Yang kami soroti itu hak pejalan kaki. Penegakan hukum dan perencanaannya,” jelas warga Kalijudan itu. Sebetulnya, kata Aditya, Kota Surabaya sama dengan kebanyakan kota lain. Tiap tahun selalu ada perbaikan trotoar meski sangat sedikit.

Namun, pembangunan itu mengabaikan beberapa aspek. Terutama aspek ramah difabel. Banyak trotoar yang tertutup aksesnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: