Hat-trick Maaf
Ilustrasi Sri Mulyani minta maaf.-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Gerakan tolak pajak juga pernah terjadi di Cilegon. KH Wahid namanya yang memimpin. Ia kecewa karena kolonial menaikkan pajak perahu dan ulah petugas pajak.
Apakah gerakan boikot pajak di era modern ini bisa jadi kenyataan dan masif? Tentu sulit terjadi. Sebab, pemerintah saat ini bukan kolonial. Kalau kolonial, hasil pajak langsung dilarikan ke negaranya. Kalau sekarang, hasil pajak dinikmati rakyat, walau juga masih ada koruptor pajak yang bergentayangan.
Memang, gerakan antipajak sekarang masih spontanitas dan sebatas reaksi kekecewaan. Namun, Sri Mulyani tak boleh menganggap enteng. Gerakan itu juga seperti api yang bisa membesar bila kekecewaan terhadap aparat pajak dan bea cukai makin bertumpuk.
Misalnya, Sri Mulyani juga harus mampu menuntaskan aliran transaksi Rp 349 triliun tersebut. Itu juga taruhan. Gagal menuntaskan berarti akan menambah tebal kekecewaan publik. Tingkat kepercayaan kepada lembaga pajak dan bea cukai juga kian terpuruk.
Sri Mulyani harus belajar kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Kapolri tidak takut mengadili para jenderalnya yang berulah seperti Sambo dan Teddy Minahasa. Sudah tak terhitung perwira menengah hingga pangkat terbawah yang berkasus juga diadili.
Sebelum terlambat, tidak terbayang kalau gerakan tolak pajak menjadi kenyataan secara masif. Dari mana uang untuk membangun saat negara juga banyak utang? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: