Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober: Ejekan Suparmo (5)

Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober: Ejekan Suparmo (5)

Soe Tjen Marching yang kenyang dengan diskriminasi. Saat kelas VI SD kerap mengalami ejekan sebagai pendosa, anak tapol, dan sebagainya. -Elvina Talitha-

HARIAN DISWAY - Diskriminasi yang diterima saat Soe Tjen Marching kecil, rupanya masih berlanjut. Dia kembali mendapatkan pengalaman serupa ketika bersekolah. Ironisnya, itu dilakukan oleh oknum guru yang membencinya.

Sebagai anak yang lahir dalam lingkungan keluarga pas-pasan, Soe Tjen harus rela bersekolah di tempat yang cukup jauh. Yakni di SD Kristen IMKA. Dulu terletak di Jalan WR Supratman, Surabaya. Jarak dari rumahnya, di Jalan Putro Agung, adalah 6,7 kilometer. "Saya sekolah di situ tahun 1977. Itu sekolah swasta, tapi dianggap buruk. Mereka sangat membutuhkan siswa. Letaknya cukup jauh dari rumah saya," kenang Soe Tjen. 
Sekolah IMKA yang terletak di kawasan Tegalsari, Surabaya. Tempat Soe Tjen bersekolah dulu. -istimewa-

SD Kristen Imka memiliki reputasi sebagai sekolah yang menampung anak-anak yang gagal, atau tidak naik kelas dari sekolah sebelumnya. Karena disekolahkan di sekolah yang buruk, apalagi jaraknya jauh, Soe Tjen kerap iri saat melihat anak-anak lain dapat bersekolah di sekolah bergengsi, di sekitar lingkungan rumahnya.

Satu dua kawannya sempat iseng bertanya, kenapa kamu sekolah di sini? Kamu gagal ya di sekolah sebelumnya? Tidak naik kelas lalu pindah ke sekolah ini?. Saat itu Soe Tjen menanggapi dengan senyum. "Saya memang didaftarkan oleh Mama," katanya saat itu. Rupanya, tak hanya alasan ekonomi.


Soe Tjen bersama rekan-rekan aktivis di Surabaya yang menghadiri bedah bukunya berjudul Yang Tak Kunjung Padam. Tampak Yuliani, dua dari kiri, mama Soe Tjen yang ikut hadir. -Sahirol Layeli- 

Belakangan, Soe Tjen mengetahui dari mamanya, Yuliani, bahwa dia bersekolah di situ karena utang budi.

Saat tinggal di Darmo Kali, kawasan itu disebut Kampung Merah. Karena ketika itu banyak warga yang ditangkap, dianggap terlibat peristiwa Gerakan 1 Oktober. Termasuk Oei Lian Bing, papa Soe Tjen.

Ketika papanya dipenjara, keluarganya banyak dibantu oleh tetangga perempuan yang saat Soe Tjen sekolah, perempuan itu menjadi kepala sekolah di SD Kristen IMKA. "Maka saya harus rela melakukan perjalanan jauh setiap hari untuk membayar utang budi itu," ungkapnya.

Pengalaman sekolah di SD Kristen IMKA memang menempa batin dan fisiknya, sehingga menjadi pribadi dan pemikir yang tangguh. Tapi justru saat sekolah di situ, dia lagi-lagi mendapat diskriminasi. Bahkan lebih keras daripada diskriminasi yang diterimanya saat kecil, ketika pertama kali tinggal di Putro Agung. “Saya masih ingat. Pada tahun-tahun pertama di sekolah IMKA, saya bahagia. Menginjak kelas 6, diskriminasi itu saya alami,” ujarnya.

Seorang guru bernama Suparmo, berkali-kali menyindirnya sebagai anak eks-tapol. Saat itu Soe Tjen sama sekali tak mengerti istilah itu. Yang membuatnya meradang, ketika Suparmo mengejek papanya sebagai pendosa. Pernah terlibat usaha pemberontakan yang baginya untung dapat dipadamkan.

Suparmo adalah suami dari kepala sekolah SD Kristen IMKA. Tetangga perempuan yang dulu membantu mama dan ketiga saudaranya, saat papanya dipenjara. Jika kepala sekolah mau menerima dan memahami Soe Tjen dan keluarganya, Suparmo tidak. Ejekan itu terus diterimanya ketika sekolah.

Dari diskriminasi-diskriminasi itu, Soe Tjen jadi mampu membeda-bedakan orang lain. "Oh orang ini Cino. Oh, kalau orang itu bukan Cino. Oh orang itu agama ini. Lalu orang ini agamanya itu. Saya jadi pandai membeda-bedakan," katanya. 

Suparmo terus mengolok, baik secara langsung maupun dengan sindirian, bahwa papanya dipenjara karena komunis. "Dia mengatakan bahwa papa saya seorang pendosa. Lalu mengatakan bahwa saya pun orang berdosa. Meski saya religius, tapi dia pun menganggap saya komunis," kenang perempuan kelahiran Surabaya, 1971 itu.

Suatu ketika, Soe Tjen dan murid-murid kelas VI lainnya menghadapi ujian. Penjaganya adalah Suparmo. Saat asyik mengerjakan soal, tanpa sengaja pensilnya terjatuh. Menggelinding sedikit ke belakang, menyentuh kaki kawannya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: