Bully di Sukabumi Disorot MPR RI

Bully di Sukabumi  Disorot MPR RI

Indonesia menggandeng United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada 2017. Dibikinlah Program Roots untuk mengatasi perundungan di sekolah. Sayang, kenyataan tak seindah harapan. Masih sangat banyak kasus perundungan di Indonesia. -UNICEF Indonesia-

1) Disengaja untuk menyakiti.

2) Terjadi secara berulang-ulang.

3) Ada perbedaan kekuasaan antara pelaku dan korban. 

Penjelasannya, pelaku perundungan memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korban. Baik menyakiti fisik, kata-kata, perilaku yang menyakitkan, maupun dilakukan berkali-kali. 

Anak laki-laki lebih mungkin mengalami perundungan fisik dan anak perempuan lebih mungkin mengalami perundungan secara psikologis. Walaupun, jenis keduanya tentu cenderung saling berhubungan.

Perundungan adalah pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-sekali. Anak-anak yang melakukan perundungan biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi. Misalnya, anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, dianggap populer, atau lebih kaya secara materi sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.

Anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk dirundung sering kali adalah anak-anak yang berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, anak-anak penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.

Namun, pendidikan dan latihan untuk para pendidik (guru dan pengurus sekolah) sudah diberikan secara intensif dalam Program Roots oleh UNICEF.

Hasilnya, toh masih seperti kita saksikan sekarang. Cuma satu-dua kasus yang terpublikasi seperti kasus Mario menganiaya David. Atau kasus Aditya Hasibuan menganiaya Ken Admiral di Medan bulan lalu. Terbaru kasus MH.

BACA JUGA:Mirip Kasus Mario Dandy, Anak AKBP Achiruddin Aniaya Temannya

Itu yang terpublikasi. Sedangkan yang tidak terpublikasi, ada ribuan dalam dua tahun terakhir ini, merujuk data Kemendikbudristek hasil Asesmen Nasional (AN) 2021 yang 25 persen dari jumlah pelajar.

Prof James Lehman dalam bukunya yang bertajuk The Total Transformation Program (2004) memaparkan gamblang. Penyebab anak dan remaja jadi pelaku perundungan adalah mereka tidak mampu mengatasi emosi dalam diri menghadapi problem hidup. Lalu, ketidakmampuan itu dilampiaskan dengan mem-bully anak lain.

Prof Lehman: ”Pelaku memulai gejalanya sejak usia 5-6 tahun (di Indonesia, awal SD). Memuncak saat usia dewasa muda. Kemudian, jadi pelaku domestic violence (KDRT) saat berkeluarga. Domestic violence dalam keluarga ditiru anak-anak, yang kelak bakal jadi pem-bully juga.”

Itu kalau pem-bully tidak dimasukkan terapi psikologis. Sampai sembuh.

Jelasnya, perundungan seperti peternakan. Pem-bully menghasilkan bibit pem-bully juga. Begitu seterusnya dari generasi ke generasi. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: