MK Selamatkan Demokrasi, Evaluasi UU Pemilu Harus di DPR

MK Selamatkan Demokrasi, Evaluasi UU Pemilu Harus di DPR

Hakim Mahkamah Konstitusi--

JAKARTA, HARIAN DISWAY - Surat suara pada pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2024 sudah bisa dipastikan. Yakni akan menampilkan sosok para calon anggota legislatif untuk dipilih. Bukan gambar logo partai.

Itu sesuai vonis Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan terkait gugatan sistem pemilu proporsional terbuka, Kamis, 16 Juni 2023. Majelis hakim menolak seluruh gugatan dari enam orang penggugat. Vonis tersebut sekaligus mengakhiri gegeran dunia politik beberapa waktu belakangan.

Sidang putusan seharusnya dihadiri sembilan hakim konstitusi. Salah satu hakim, Wahiduddin Adams, berhalangan hadir. Mantan direktur jenderal peraturan perundang-undangan Kemenkum HAM itu bepergian ke luar negeri malam sebelumnya.

Absennya Wahid–sapaan karib Wahiduddin–sama sekali tidak menggugurkan sidang. Alias putusan tetap sah. Sebab, sidang pleno minimal harus dihadiri tujuh hakim.

"Dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon seluruhnya," kata Ketua Hakim Anwar Usman yang memulai pembacaan putusan pukul 09.30, kemarin, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.

BACA JUGA:Jojo vs Ginting di Perempat Final, Indonesia Kunci Satu Tiket ke Semifinal Indonesia Open 2023

BACA JUGA:Luncurkan RPJP Jatim 2025-2045, Khofifah Dukung Pemimpin Yang Bisa Lanjutkan Program Pemerintah

Pengamanan sidang putusan ini berlangsung cukup ketat. Bahkan melibatkan 1.202 personel gabungan yang siaga di gedung MK sejak pagi. Tak hanya itu, di dalam ruang, sidang juga diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh para hakim.

Sebagaimana yang banyak diperbincangkan sebelumnya, ada enam hakim yang setuju mengabulkan gugatan dari judicial review. Dan hanya tiga hakim yang dikabarkan menolak gugatan.

Tentu, kabar itu akhirnya ditepis oleh hasil putusan. Meski ada satu hakim yang berbeda pendapat. Hakim itu adalah Arief Hidayat yang ingin sistem pemilu proporsional terbuka harus dievaluasi.

"Perlu ada peralihan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas," tandasnya dalam persidangan. Sebab, lanjut Arief, sistem pemilu proporsional terbuka ini sudah empat kali diterapkan dari lima kali penyelenggaraan pemilu. Mulai Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. 

Menurutnya, dari kacamata filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang ada selama ini didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Arief pun menilai permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. 

"Karena itu harus dikabulkan sebagian," ungkapnya. Namun, tidak perlu tergesa-gesa. Peralihan ke sistem proporsional terbuka terbatas bisa dimulai pada Pemilu 2029. Ini agar tidak mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan.

Sebetulnya, istilah sistem proporsional terbuka terbatas itu sempat muncul dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu pada 2017 silam. Bahkan, saat itu rumusannya berubah dari draf awal yang diserahkan pemerintah. Versi pertama, sistem proporsional terbuka terbatas lebih menekankan pada pola pencalonan dan pemberian suara. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: