Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (5) : Antisipasi Dampak AI, Regulasi Mendesak
THE IMPOSSIBLE STATUE, patung pertama yang dibuat sepenuhnya oleh artificial intelligence. Patung ini dipamerkan di Stockholm, Swedia, 8 Juni 2023.-JONATHAN NACKSTRAND-AFP-
Seperti dua mata pisau, kehadiran AI tak hanya mempermudah pekerjaan manusia. Tetapi juga ada dampak buruk. Tentu harus ada regulasi yang bisa mengantisipasinya.
PENGGUNAAN ChatGPT mulai marak di kalangan mahasiswa. Tak sedikit yang mencari referensi karya ilmiah dari platform yang dikembangkan OpenAI tersebut. Inilah konsekuensi logis perkembangan dunia digital.
"Karena generasi-generasi ini yang makin lama makin kita lihat tumbuh dan berkembangnya dalam habitus digital," ujar Guru Besar Sains Informasi Universitas Airlangga Prof Rahma Sugihartati, Minggu, 25 Juni 2023.
Artinya, segala perkembangan teknologi mustahil diingkari. Termasuk menjamurnya penggunaan berbagai platform AI. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas.
Namun, memang selalu ada sisi kontraproduktif. Sisi yang paradoks. Misalnya, karya tulis ilmiah akan dengan mudah dikerjakan ChatGPT. Sementara mahasiswa tinggal sedikit memodifikasinya.
Lama-lama akan terjadi ketergantungan. Itulah, kata Prof Rahma, yang bakal mengorbankan integritas akademik. Kejujuran mahasiswa sebagai akademisi bisa terancam. Sebab, setiap karya tulis justru harus menjunjung tinggi orisinalitas.
BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (4) : Unair Bikin Prodi AI, UK Petra Rancang Supercomputer
BACA JUGA : Kuda Troya Teknologi
BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (1) : Apa-Apa AI
"Setiap kalimat yang dirangkai dalam karya tulis itu representasi dari akumulasi pengetahuan si penulis," ujar Prof Rahma. Fenomena paradoks itulah yang harus menjadi perhatian bersama. Terutama bagi para pemangku kebijakan di dunia pendidikan.
Yakni dengan melahirkan regulasi baru. Tujuannya untuk menjaga mahasiswa tetap menjunjung kultur akademik yang sehat. Sehingga bisa seimbang dalam pemanfaatan teknologi AI.
Dalam penulisan skripsi atau disertasi, misalnya. Prof Rahma mengusulkan para dosen pembimbing supaya lebih ketat dalam memandu mahasiswa. Terutama mengandalkan state of the art alias metode telaah untuk memperoleh kebaruan dalam setiap penelitian.
Harus diperiksa seksama rumusan masalah, teori yang digunakan, hingga kesimpulan penelitiannya. Apakah berkontribusi dalam penelitian selanjutnya atau tidak. "Maka setiap kampus harus bisa memastikan prosesnya," ujar dosen Departemen Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, itu.
UJI COBA ChatGPT oleh Ro’sus Solichah, social media specialist Harian Disway, 22 Juni 2023.-Boy Slamet-Harian Disway-
Sebetulnya, OpenAI sudah menyediakan alat khusus. Yakni untuk mendeteksi apakah karya tulis itu bikinan AI atau bukan.
"Mereka sudah punya framework sendiri di pilihan menunya. Ini memang untuk melindungi hasil karya orang," ujar Indar Sugiarto, pemerhati AI dari Indonesian Association for Pattern Recognition. Para dosen bisa memanfaatkannya. Tentu untuk mengantisipasi penyalahgunaan ChatGPT dalam karya tulis.
Indar menjelaskan bahwa regulasi yang menyangkut semua pemanfaatan teknologi AI sedang digodok di Indonesia. Ada tiga kementerian yang terlibat: Kementerian Kominfo, Kemendikbud Ristek, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Tetapi, bentuknya masih konsep rancangan sejak 2020. Belum ke ranah hukum," katanya. Namanya Strategi Nasional untuk Artificial Intelligence (Stranas AI). Konsep itu yang akan menentukan arah kebijakan nasional menyangkut teknologi kecerdasan artifisial. Dan digunakan sebagai acuan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
Yang jelas, butuh waktu yang tak sebentar. Mengingat perkembangan teknologi AI begitu pesat. Dinamikanya pun sangat cepat. "Regulasi AI di Eropa sendiri masih tarik ulur sampai sekarang," ujar mantan teknisi Advance Processor Technology di Universitas of Manchester itu.
PERCAKAPAN antara Harian Disway dengan ChatGPT tentang masa depan beberapa profesi yang terkait dengan kehadiran artificial intelligence.-Dave Yehosua-Harian Disway-
Guru Besar Ilmu Komunikasi Prof Henri Subiakto menyampaikan hal serupa. Bahwa regulasi AI di Indonesia memang masih tertinggal. Maka Indonesia juga harus belajar dari Eropa.
"Karena selain negara-negaranya maju, Eropa juga mendapat tantangan dari Amerika," tandasnya. Mereka ingin melawan hegemoni teknologi dari Negeri Paman Sam itu. Seperti yang terus diupayakan Tiongkok.
Apalagi, meregulasi teknologi AI ini bukan hal yang mudah. Bahkan, kata Prof Henri, pemerintah tak bisa bikin regulasi yang seolah lebih pintar dari swasta. Artinya, pembuatan regulasi itu juga harus melibatkan para penyelenggara sistem elektronik.
"Jadi negara gak sok pintar juga. Karena AI ini hal yang sama sekali baru, kan," tandasnya. Bila lemah di regulasi, ada cara lain yang harus segera disiapkan. Yakni dengan memperkuat literasi tentang AI. (Mohamad Nur Khotib)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: