Impor Beras

Impor Beras

Ilustrasi impor beras bikin petani menjerit --

INILAH dampak kurang diperhatikannya sektor ekonomi paling penting. Sektor pertanian. Pemerintah akan mengimpor beras. Dua juta ton. Alasannya klasik. Untuk cadangan, karena kita akan menghadapi berbagai ancaman, termasuk El Nino.  

Pemerintah sudah membuat kesepakatan dengan India untuk mengimpor 1 juta ton beras. Sebelumnya, Bulog –yang mendapat mandat pemerintah– telah mengimpor 500 ribu ton per Juni lalu. 

Kebijakan impor beras itu menjadi pertanyaan banyak pihak. Sebab, tahun lalu pemerintah memperoleh penghargaan ”ketahanan pangan beras” dari International Rice Research Institute (IRRI). Penghargaan tersebut diberikan karena Indonesia dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019–2021. 

Swasembada? Iya. Merujuk pada definisi Food and Agriculture Organization (FAO), swasembada adalah apabila produksi dapat memenuhi 90 persen dari kebutuhan nasional. Bagi Indonesia, dari kebutuhan 30 juta ton tahun 2022, impor hanya 500 ribu ton. Jauh dari nilai 10 persen kebutuhan atau 3 juta ton.

Jika tahun ini kebutuhan beras mencapai 30 juta ton, kebijakan impor 2 juta ton tak akan mengubah status Indonesia terkait pangan. Indonesia tetap dianggap swasembada beras. Predikat yang menjadi target pemerintah sebagai bentuk ketahanan pangan. 

Beras dan produksi berbagai komoditas pertanian memang selalu menjadi sorotan. Sebab, kita selalu impor. Bukan hanya beras, melainkan juga gula, bawang putih, kedelai, dan jagung. Bahkan, lombok dan sayur-sayuran. Padahal, Indonesia memiliki lahan subur yang luar biasa. Yang meski terus tergerus pembangunan, masih sangat luas. 

Luas panen padi saja pada 2022 mencapai 10,45 juta hektare. Produksi padi pada 2022 sebesar 54,75 juta ton GKG. Naik dari produksi padi di 2021 yang sebesar 54,42 juta ton GKG. Produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,54 juta ton, mengalami kenaikan 184,50 ribu ton atau 0,59 persen bila dibandingkan dengan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton.

Sebenarnya Indonesia bisa menghindari impor beras. Itu jika pertanian memperoleh perhatian besar dari pemerintah. Selama ini lahan kurang maksimal karena faktor produksi yang kurang memadai. Harga pupuk mahal karena subsidi terus dikurangi. Juga, sulit diakses. Sering kali saat petani membutuhkan pupuk, barang sulit didapat. 

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian itu tak lepas dari paradigma yang salah dalam pembangunan. Pemerintah terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga lebih memperhatikan sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian: industri manufaktur dan perdagangan. Kontribusi sektor pertanian tahun 2022 hanya 12,40 persen. 

Padahal, berdasar pengalaman saat krisis, sektor pertanian justru menjadi penyelamat perekonomian Indonesia. Termasuk saat krisis akibat pandemi Cobid-19  tahun 2020 hingga 2022. Saat sektor-sektor ekonomi mengalami tekanan luar biasa, sektor pertanian menunjukkan ketangguhannya. 

Saat ekonomi mengalami kontraksi –2,07% pada 2020– pertanian tumbuh positif 1,75%, bahkan pada kuartal IV/2020 tumbuh 2,59%. Sepanjang 2020 pertanian tumbuh positif bersama beberapa sektor seperti jasa kesehatan dan kegiatan sosial (11,60%), informasi dan komunikasi (10,58%), dan pengadaan air (4,94%). Pada 2021, pertanian tumbuh 1,88% ketika perekonomian nasional tumbuh 3,69%. 

Hal yang sama terjadi saat krisis keuangan 1998. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13,68%. Sektor-sektor ekonomi mengalami kontraksi. Namun, sektor pertanian dan UMKM relatif tak terdampak. Bahkan, dengan rupiah yang melemah, pertanian menikmati durian runtuh berupa harga pangan yang tinggi di pasar dunia. 

Kontribusi pertanian juga tampak pada serapan tenaga kerja. Sepanjang 2020, pertanian mendapatkan limpahan tenaga kerja baru 3,33 juta orang. Tampaknya, para urban yang kesulitan di kota ”terpaksa” kembali ke desa untuk bisa bertahan. Hanya, berbeda dengan saat krisis 1998 yang sektor pertanian memperoleh berkah akibat jatuhnya rupiah, kali ini tidak lagi. 

Yang pasti, resiliensi pertanian tatkala krisis, resesi, atau pandemi sudah teruji. Mulai krisis ekonomi 1997/1998, krisis keuangan 2008, 2011, dan krisis akibat pandemi Covid-19 tahun 2020. Bukan itu saja. Riset LPEM Universitas Indonesia (2021) menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan sektor pertanian, secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan 1,36% industri. Sebab, sektor pertanian menjadi pemasok penting bahan baku bagi sektor industri.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: