Permintaan IMF Tak Digubris, Indonesia Lanjutkan Hilirisasi

Permintaan IMF Tak Digubris, Indonesia Lanjutkan Hilirisasi

Progres pembangunan smelter milik PT Freeport Indonesia di area JIIPE Gresik, Jawa Timur-Boy Slamet-Harian Disway-

JAKARTA, HARIAN DISWAY – Menteri Investasi Bahlil Lahadalia terang-terangan melontarkan kritik ke Dana Moneter Internasional (IMF). Yakni terkait pernyataan resmi IMF yang menyinggung kebijakan hilirisasi. Bahwa IMF meminta Indonesia menghentikan kebijakan tersebut.

 

Dalam laporan bertajuk IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, IMF memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi Indonesia. IMF mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik. Bahkan menjadi salah satu terbaik di antara negara-negara G20.

 

Pertumbuhan ekonomi nasional tembus di atas 5 persen. Dan inflasi di bawah 5 persen. Tentu, itu adalah prestasi di tengah ketidakpastian ekonomi global.

 

Selain itu, IMF juga memberikan apresiasi terhadap peningkatan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment) yang terus meningkat. Dengan pertumbuhan sebesar 19 persen tahun ini. "Namun, IMF menentang kebijakan pelarangan ekspor mineral yang dilakukan Indonesia. Ini nggak masuk nalar sehat saya," lontar Bahlil saat konferensi pers Jumat sore, 30 Juni 2023.

 

BACA JUGA : IMF Cegat Hilirisasi Mineral, Luhut Segera Terbang ke AS

BACA JUGA : Tiga Tahun, Hilirisasi Nikel Raup Rp 450 triliun

 

IMF, lanjut Bahlil, berpendapat bahwa larangan ekspor mineral dapat menimbulkan kerugian dalam penerimaan negara. Sekaligus berdampak negatif bagi negara lain. Tentu saja pernyataan itu terkesan ngawur.

 

Bahlil pun membeberkan buktinya. Bahwa hilirisasi mineral telah memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Misalnya, nilai ekspor nikel hanya mencapai USD 3,3 miliar pada 2018. Lantas meningkat hampir USD 30 miliar pada  2022. 

 

Selain itu, hilirisasi juga telah mendorong pemerataan ekonomi di daerah. Terutama di wilayah penghasil bahan baku. Salah satu buktinya, pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara yang mencapai 19 persen.

 

"Bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan nasional," tandasnya. Demikian pula lapangan kerja di sana. Mengalami pertumbuhan sebesar 8-9 persen.

 

Bahlil juga mempertanyakan pandangan IMF yang menyatakan bahwa Indonesia akan mengalami kerugian akibat hilirisasi mineral. Padahal, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Target pendapatan negara pada 2021-2022 telah tercapai. 

 


-Grafis: Annisa Salsabila-Harian Disway-

 

Maka, IMF seharusnya tidak meragukan kemampuan Indonesia dalam mengelola perekonomiannya sendiri. Pemerintah terang-terangan menolak permintaan IMF untuk menghentikan kebijakan hilirisasi mineral. Sebab, kebijakan hilirisasi terbukti menguatkan kedaulatan ekonomi bangsa.

 

Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tak mau lagi menuruti IMF. Bahkan pemerintah sudah kapok. "Saat krisis moneter 1998, kita sudah pernah menuruti rekomendasi IMF," jelasnya.

 

Yakni mengurangi operasi sektor industri dan bantuan sosial. Hal tersebut justru mengakibatkan deindustrialisasi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi nasional pun melambat.

 

Berbeda dengan Malaysia yang menolak rekomendasi IMF. Negeri Jiran itu justru berhasil menghindari dampak buruk momen krisis tersebut. Kini, Indonesia ingin lebih berdaulat lagi.

 

Pihak mana pun, termasuk IMF, tidak boleh campur tangan terkait kebijakan. Bahlil percaya kepada SDM bangsa sendiri. "Orang-orang kita sekarang sudah pintar, kok," imbuhnya.

 

Saat ini langkah-langkah konkret untuk mendukung hilirisasi mineral terus dipersiapkan. Pada Juli nanti, ekspor bauksit sudah dihentikan. Tahun depan menyusul ekspor tembaga yang juga akan dilarang.

 

Tentu, semua hilirisasi itu berujung pada misi besar. Yakni menciptakan ekosistem kendaraan listrik. Kerjasama pun terus digaungkan.

 

Pekan lalu, jelas Bahlil, sudah ada penandatanganan kerja sama dengan perusahaan panel surya asal Amerika Serikat. Rencananya akan membangun pabrik di Batang dengan total investasi sebesar Rp 7,5 triliun. 

 

Sebagian besar produksinya akan dilakukan di dalam negeri. Setidaknya mencapai 60-70 persen. Baru kemudian tahap penyelesaian boleh dibawa ke luar negeri.

 

Ini sebagai bukti bahwa Indonesia tidak hanya fokus pada nilai tambah dari hilirisasi. Tetapi juga berkomitmen untuk membangun industri yang berkelanjutan dan berorientasi pada energi hijau.

 

"Kita yakin Indonesia potensi potensi besar dalam mengembangkan industri kendaraan listrik. Februari nanti kita juga akan produksi baterainya, satu-satunya di Asia Tenggara," jelas Bahlil. Dengan begitu, Indonesia siap bersaing di pasar kendaraan listrik global. 

 

Guru Besar Hukum Perdagangan Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana mengatakan, kebijakan hilirisasi harus terus diperjuangkan. Indonesia harus bisa mempertahankan ambisi besar itu. 

 

"Tentu saja juga menyiapkan diri untuk menanggung risiko di belakang," katanya. Yang tak bisa dipungkiri adalah hubungan dagang dengan Uni Eropa bakal memburuk. Bisa jadi Indonesia bakal diboikot. Entah menyangkut komoditas dagang maupun penghentian investasi.

 

Namun, Prof Hikmah lebih yakin kemungkinan itu tak akan terjadi. Mengingat Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang kaya mineral mentah. Terutama nikel, yang bahkan menguasai sekitar 52 persen cadangan nikel dunia. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: