Subsidi Elpiji

Subsidi Elpiji

Ilustrasi subsidi elpiji 3 kg--

DUA pekan ini terjadi kelangkaan elpiji 3 kg di berbagai daerah. Di Banyuwangi dan Kediri, ribuan orang antre untuk mendapatkan elpiji tabung melon itu. Di beberapa toko, elpiji yang normalnya  bisa didapat dengan harga Rp 18 ribu per tabung tiba-tiba dijual hingga Rp 30 ribu. Itu pun stok sangat terbatas.

Langkanya elpiji bersubsidi itu melengkapi rumitnya penanganan subsidi oleh pemerintah. Sebab, hal yang sama terjadi pada subsidi energi yang lain, yaitu BBM, meski kini sudah bisa diatasi dengan baik. Juga, subsidi pupuk yang menyebabkan di berbagai daerah mengalami kelangkaan pupuk.

Masih banyak jenis subsidi yang dinikmati masyarakat. Baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Terbaru, ada subsidi kendaraan listrik, mobil dan motor listrik. Lainnya, ada subsidi listrik, subsidi iuran BPJS Kesehatan, subsidi air minum (PDAM), subsidi rumah, subsidi bunga untuk kredit UMKM, dan sebagainya. Belum lagi subsidi berupa bantuan langsung tunai dan bantuan pangan. 

BACA JUGA:Pemerintah Siapkan Pengganti LPG, Apa Itu?

BACA JUGA:Mirip Pertalite, Data Pembeli LPG 3 Kg Mulai Dicatat

Pemerintah memang menganggarkan dana sangat besar untuk subsidi. Pada APBN 2023, anggaran subsidi hampir Rp 300 triliun. Itu terdiri atas Rp 210,6 triliun untuk subsidi energi dan Rp 86,5 triliun untuk subsidi nonenergi. Tahun 2022 subsidi jauh lebih besar. Subsidi untuk BBM 2023 Rp 136 triliun itu jauh lebih rendah daripada tahun lalu.

Kelangkaan barang subsidi seperti elpiji itu sudah sering terjadi. Kelangkaan solar, misalnya, sering terjadi di berbagai daerah. Juga, premium –bensin subsidi sebelum digantikan pertalite. Jika dicermati, penyebabnya selalu sama. Permintaan solar atau bensin bersubsidi  melebihi kuota yang sudah ditetapkan pemerintah dan DPR. 

Artinya, subsidi banyak yang tidak tepat sasaran. Subsidi yang sebenarnya diperuntukkan orang-orang berpenghasilan rendah ikut dinikmati masyarakat kelas menengah. Bahkan kelas atas. Kita sering kali melihat mobil mewah ikut antre membeli solar bersubsidi yang harganya memang jauh lebih murah. Saat ini harga solar subsidi –biosolar– hanya Rp 6.800 per liter. Sementara itu, solar dexlite dijual Rp 13.150 dan dex Rp 13.550. 

Memang tidak mudah menyalurkan subsidi secara tepat sasaran. Sebab, dalam tekanan ekonomi yang tinggi, masyarakat merasa daya belinya makin berkurang. Membeli kebutuhan dengan harga subsidi sangat dirasakan bisa menurunkan beban signifikan. Karena itu, mereka dengan santai tetap mengonsumsi barang-barang bersubsidi yang sebenarnya bukan diperuntukkan bagi mereka. 

Apalagi, nilai subsidi bisa sangat besar. Pada kasus elpiji 3 kg, misalnya. Harga Rp 18 ribu untuk 3 kg sangat murah. Harga per kg hanya Rp 6.000. Bandingkan dengan harga gas elpiji nonsubsidi. Elpiji 12 kg paling murah dijual Rp 213 ribu atau Rp 17.750 per kg. Ini berarti tiga kali lipat lebih mahal daripada harga elpiji subsidi. Di beberapa tempat, harga elpiji 12 kg mencapai Rp 270 ribu atau Rp 22.500 per kg. 

Selama bertahun-tahun, subsidi memang diberikan kepada semua masyarakat. Tanpa memandang kelas ekonominya. Dulu bensin premium dan biosolar bisa dibeli siapa pun. Termasuk orang kaya. Hanya, karena anggaran pemerintah makin terbatas, subsidi terus dikurangi. Subsidi hanya diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang memang perlu dibantu daya belinya dengan subsidi. 

Karena kebiasaan bertahun-tahun itu, mengubah pola pikir masyarakat juga tidak mudah. Kecuali dengan peraturan dan penegakan yang ketat. Apalagi, mereka juga merasa membayar pajak dan berbagai retribusi sehingga juga merasa  berhak memperoleh subsidi. 

Pada BBM subsidi, misalnya, Pertamina cukup sukses menyosialisasikan dan menerapkan konsep ”subsidi tepat”  melalui pembatasan pembelian secara bertahap. Kini masyarakat sudah terbiasa membeli BBM sesuai dengan kategori mobil yang dimilikinya. Bahkan, di berbagai SPBU kita melihat sudah banyak sepeda motor yang tak lagi antre membeli pertalite yang murah.

Sebenarnya Pertamina juga menerapkan pembatasan elpiji subsidi dengan keharusan menunjukkan KTP. Namun, pengawasan pembelian elpiji melon itu masih sangat longgar. Banyak pengusaha yang masih menggunakan elpiji subsidi itu meski melihat omzetnya bukan lagi usaha mikro. Begitu juga rumah tangga yang sebenarnya tidak masuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR) yang merupakan sasaran elpiji bersubsidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: