Santriwati Bersenjata, Mengapa Heboh?

Santriwati Bersenjata, Mengapa Heboh?

Ilustrasi santriwati Ponpes Baitul Qur’an Al Jahra, Magetan, Jatim, pegang airsoft gun.-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Anehnya, di SMP Santa Maria 2 Sidoarjo, Jatim, ekstrakurikuler (ekskul) menembak dengan airsoft gun sudah ada.

Guru olahraga sekaligus pembina ekskul di sana, Fandi Rachmawan, kepada wartawan, Selasa, 14 Mei 2019, menjelaskan bahwa menembak dengan airsoft gun diterapkan di sana sejak Agustus 2018.

Fandi Rachmawan: ”Meski memiliki model mirip senjata aslinya, ini tidak berbahaya. Karena pelurunya hanya merupakan bola plastik kecil. Serta dalam ekskul ini para siswa selalu kita dampingi dan diwajibkan menggunakan alat pelindung dada (mirip rompi antipeluru polisi dan tentara) sehingga dijamin aman.” 

Akhirnya: ”Di dalam ekskul ini, para murid kita ajarkan berlatih menembak serta mengoperasikan unit airsoft gun. Namun, bukan berarti kita mengajarkan kekerasan pada anak, justru kita ajarkan rasa kejujuran, solidaritas, serta kesetiakawanan di dalamnya.”

Di penjelasan itu, ada tiga manfaat yang diharapkan: kejujuran, solidaritas, setia kawan. Tidak nyambung dengan menembak. Karena jadinya begini: jujur, lalu menembak. Atau, karena solider pada kawan, maka menembak musuh si kawan. Gak nyambung.

Mestinya, untuk bela diri. Atau, latihan jika kelak jadi polisi. Atau, jaga-jaga kalau-kalau suatu hari anak-anak itu berkeluarga, supaya tidak kena KDRT. 

Lebih unik lagi, di Batam, Kepulauan Riau, kegiatan itu dilarang. Terjadi pada Senin, 11 Februari 2019.

Adalah SMK Sekolah Penerbangan Nusantara Dirgantara (SPND) Batam yang waktu itu mulai menerapkan kurikulum menembak dengan airsoft gun. Lengkap dengan pelindung dada, mirip rompi antipeluru.

Tak ayal. Komisioner KPPAD Kepri Ery Syahrial kepada pers, Senin, 11 Februari 2019, mengatakan, berdasar hasil koordinasi tentang hal itu dengan Disdik Kepri, semua sekolah di bawah Kemendikbud dilarang latihan militer atau semimiliter. 

Ery Syahrial: ”Bagi KPPAD Kepri, sepanjang ada aturannya dan masuk kurikulum, tidak masalah. Berarti sudah ada kajian sebelumnya. Sedangkan ini, menembak dengan airsoft gun, tidak ada dasar hukumnya. Sehingga rentan terjadi penyimpangan dan pelanggaran hak anak.”

Dilanjut: ”Maka, kegiatan itu harus diganti. Misalnya, diganti ke ekstrakurikuler yang dibolehkan kurikulum. Semua harus kembali pada aturan.”

Simpang siur aturan. Mungkin, rumitnya aturan bidang pendidikan itu belum terbaca Islah Bahrawi. Terbukti dari isi unggahan di Instagram tersebut. Ia langsung menuju pada anggapan radikalisme.

Mungkin pula, Islah teringat Zakiah Aini, 25, yang menerobos masuk Mabes Polri, bersenjata airsoft gun, pada Rabu sore, 31 Maret 2021. Zakiah tewas dengan satu tembakan polisi, tembus ke jantung. Polri waktu itu mengumumkan, berdasar hasil penyelidikan, Zakiah merupakan lone wolf berideologi ISIS.

Namun, bebas saja Islah menulis begitu. Kebebasan berpendapat. Bahkan, unggahannya direaksi Kapolres Magetan dengan cepat. Setidaknya, unggahan Islah jadi antitesis radikalisme yang memang hidup di Indonesia sampai sekarang.

Fokus tulisan ini bukan radikalisme. Melainkan viral. Sesuatu yang viral selalu direaksi cepat oleh polisi. Terlalu cepat. Tanpa cek, bahwa di sekolah Sidoarjo ada dar-der-dor sejak 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: