Rocky Gerung Sakti

Rocky Gerung Sakti

Ilustrasi Menkum HAM Yasonna Laoly laporkan Rocky Gerung ke polisi. Apakah Rocky Gerung sakti sehingga masih dapat bertahan? --

Djuhandani: ”Semua LP ditarik ke Mabes Polri karena objek perkara dan terlapor semua, sama. Dalam proses, 15 LP sudah diterima pidum.” 

Dilanjut: ”Proses penyelidikan perkara itu berparalel. Polda-polda terkait melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Sudah berjalan pidum maupun wilayah karena semua penyidik, baik pidum maupun penyidik wilayah, kita libatkan.”

Begitu rumit perkara yang sebenarnya sederhana itu. Begitu saktinya Rocky Gerung. Awalnya, ia dalam video yang viral mengatakan, ”Presiden Jokowi bajingan tolol.”

Penghinaan adalah delik aduan. Artinya, polisi akan memproses jika pihak korban langsung (tidak diwakili) melaporkan ke polisi. Sedangkan, Jokowi menanggapi hinaan Rocky Gerung itu dengan menyatakan, ”Saya kerja aja.” Artinya, tidak melapor.

Masalah jadi rumit, masyarakat tidak terima Jokowi dihina Rocky Gerung. Lalu, masyarakat berbondong-bondong melapor ke polisi. Ke beberapa polda di Indonesia. Bertumpuk. Akhirnya disatukan ke Bareskrim Polri.

Pastinya, 26 laporan (termasuk LP dari Yasonna Laoly) dengan aneka pasal, yang bukan penghinaan. Menghindar, supaya tidak masuk wilayah delik aduan. Antara lain, laporan dari Biro Hukum PDIP dengan tuduhan Rocky Gerung menyiarkan berita bohong. Di kalimat Gerung yang beredar di video: ”Jokowi mondar-mandir ke China menjual IKN (Ibu Kota Nusantara).”

Pihak pelapor menyatakan: ”Presiden Jokowi berkunjung ke China dalam rangka menjalankan tugas negara. Maka, Gerung melakukan pembohongan publik.”

Tapi, inti dari 25 LP adalah Rocky Gerung menghina Jokowi. Ditambah satu LP, menghina Yasonna Laoly (korban melapor langsung) plus menghina warga suku Nias.

Di era demokrasi kita sekarang, perkara ini jadi pusat perhatian publik. Di saat orang bebas bicara apa saja. Membuat masyarakat penasaran, apakah Rocky Gerung bisa dibui karena ucapan-ucapan seperti itu? Ataukah tidak? Sedangkan, pelapornya tak kurang, PDIP dan menteri aktif.

Polri tentu bertindak sangat hati-hati dalam menangani perkara itu. Sebab, keputusan Polri di perkara tersebut bakal jadi patokan masyarakat bertindak di masa depan. Terutama, bagi masyarakat yang siap-siap menghina pejabat tinggi negara yang sekiranya tidak lapor polisi.

Keluar dari konteks perkara pidana, mengapa kini kita suka menghina orang di muka umum? Dan, orang yang menghina itu kemudian disoraki warga sebagai suatu sikap heroik. Sikap pemberani. Dan hebat. Yang bisa disimpulkan, sebagian masyarakat suka adanya penghinaan-penghinaan itu.

Kondisi itu aneh. Ada orang yang menghina orang lain malah dianggap hebat.

Menyitir kalimat budayawan Muhammad Sobary: ”Orang yang berani menghina pejabat sekarang, itu keberanian semu. Keberanian seorang pengecut. Kalau berani menghina Soeharto di zaman Orde Baru, dulu, pasti orangnya langsung tamat.”

Berarti, zaman bergerak bagai pendulum. Seperti bandulan berayun. Dari zaman otoriter Orde Baru, orang sangat takut bicara, apalagi mengkritik, pun tak seorang berani menghina presiden sebagai bajingan tolol. Menuju era demokrasi sekarang, orang sangat bebas bicara. Akibatnya, kata penghinaan disoraki sebagai hero. Bandul berayun sangat kencang.

Tapi, mengapa harus menghina? Mengapa tidak dilontarkan solusi jika suatu kondisi dianggap salah? Bukankah penghinaan identik dilakukan masyarakat kelas bawah? Ataukah kita memang masih kelas bawah? (*) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: