Dilema Kebijakan Pemda Jelang Tahun Politik

Dilema Kebijakan Pemda  Jelang Tahun Politik

ILustrasi dilema kebijakan pemda jelang tahun politik 2024.- Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Ini Daftar Kiai Jatim yang Ditemui Prabowo, Bahas Pertahanan hingga Pilpres 2024

BACA JUGA:Komunitas Nusa Bangsa Datangi PWNU Jatim, Tanyakan Kader NU di Pilpres 2024

Nyatanya, banyak pemda yang masih wait and see. Sebagian pemda ingin menerapkan, tetapi dengan catatan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat relatif tidak naik. Terutama pajak yang dikenakan kepada masyarakat secara umum seperti  PBB. 

Jadi, tarif boleh naik, tapi jatuhnya yang dibayar oleh masyarakat tidak naik. Berarti dasar pengenaan pajaknya dibuat rendah. Atau sebaliknya, dasar pengenaan pajaknya dibuat dalam rentang tinggi, tetapi tarifnya dibuat yang rendah.

Pemda Sidoarjo, misalnya. Pesan Bupati Ahmad Muchdlor, dalam situasi ekonomi yang masih berat pasca-Covid, sebaiknya pajak PBB yang dibayar masyarakat tidak naik. 

Meski, ada peluang menaikkan sesuai dengan UU HKPD. Apalagi, di sisi yang lain, Sidoarjo sudah lama tidak melakukan penyesuaian NJOP tanah dan bangunan. 

Dengan UU baru itu, seharusnya pemda bisa melakukan penyesuaian dasar pengenaan PBB dan tarif PBB sekaligus melakukan penyesuaian NJOP tanah dan bangunan. Dalam kalkulasi Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Pemda Sidoarjo (badan yang menangani pajak daerah), rata-rata nilai NJOP tanah di Sidoarjo terlalu murah. 

Jauh jika dibanding dengan harga pasar yang bisa dideteksi dari nilai transaksi riil atas tanah dan bangunan pada objek yang sama. 

Karena alasan itu, perda dibuat longgar dan lebih teknisnya diatur dalam peraturan bupati. Itu dengan pertimbangan bahwa mengubah perda memerlukan effort yang berat karena harus melalui pembahasan yang panjang di DPRD. 

Sementara itu, mengubah peraturan bupati lebih mudah dan sederhana. 

Hal yang sama dilakukan Pemkot Surabaya. Pemkot juga sedang membahas perda pajak dan retribusi dan mengubah tarif PBB. 

Kali ini tarif dibagi dalam tujuh kluster. NJOP di bawah Rp 100 juta dengan tarif 0 persen alias bebas PBB. NJOP Rp 100 juta hingga Rp 200 juta dengan tarif PBB 0,05%, lalu 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, hingga 0,3%. 

Tarif tertinggi 0,3% diperuntukkan tanah dan bangunan dengan nilai NJOP di atas Rp 50 miliar. Dengan demikian, PBB tanah dan bangunan dengan nilai Rp 50 miliar mencapai Rp 150 juta per tahun. 

Dari pengklusteran itu, tampak bahwa pemkot diliputi dilema. Di satu sisi berusaha menaikkan pendapatan dari PBB dengan menaikkan perolehan pajaknya, tapi di sisi lain tidak ingin mengenakan PBB yang besar untuk masyarakat umum. 

Yang nilainya kurang dari Rp 100 juta digratiskan, sementara yang nilai NJOP tinggi dibuat mahal. Sidoarjo juga berencana melakukan hal yang sama. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: