Dilema Kebijakan Pemda Jelang Tahun Politik

Dilema Kebijakan Pemda  Jelang Tahun Politik

ILustrasi dilema kebijakan pemda jelang tahun politik 2024.- Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Seperti pemda-pemda lain, pemkot memang menghadapi dilema. Di satu sisi, saat ini banyak pemda mengalami kesulitan keuangan karena pendapatannya tidak sesuai yang diharapkan. 

Pemda harus mencari sumber pendapatan tambahan untuk menutup APBD. Di sisi lain, menghadapi pilkada –terutama bagi petahana–  kebijakan menaikkan pajak daerah bisa ”mengancam” reputasinya yang bisa berdampak negatif dalam pilkada nanti.

Banyak pemda saat ini yang memang mengalami kesulitan keuangan. Mengalami defisit. Pemkot Surabaya, misalnya, melakukan sejumlah efisiensi  karena perkiraan pendapatannya meleset. Bahkan, pembayaran tambahan penghasilan pegawai (TPP) sempat molor dua bulan. 

Pemda Pamekasan sejak beberapa waktu lalu menghilangkan TPP yang sangat berarti bagi pegawai. Bahkan, salah satu pemda harus berutang ke bank untuk menutup kebutuhan yang belum ada dananya. 

Selain karena melesetnya pendapatan tahun 2023, kini pemda harus menyiapkan anggaran cukup besar untuk pilkada 2024. Instruksi dari Kementerian Dalam Negeri, pemda harus menganggarkannya dalam dua tahun anggaran 2023 dan 2024. 

Nilainya cukup besar. Sekitar Rp 100 miliar setiap pemda. Pemda yang belum menyisihkan secara tahunan pasti kelabakan harus menyiapkan dalam dua tahun anggaran itu. 

Kebijakan kepala daerah memang sering kali tidak bisa dilepaskan dari  kepentingan politiknya. Beberapa tahun lalu, kebijakan UMK di Pasuruan tiba-tiba memicu kenaikan UMK di daerah-daerah lain yang menjadikan UMK antardaerah sangat timpang. 

Lihat saja, UMK Kabupaten Mojokerto tahun 2023 Rp 4.504.787, sementara Kota Mojokerto hanya Rp 2.710.453. Jika Kabupaten Pasuruan Rp 4.515.133, Kota Pasuruan hanya Rp 3.038.837. Padahal, kabupaten dan kota itu berimpitan. 

Begitu juga Gresik dan Lamongan yang juga berimpitan. UMK Gresik Rp 4.522.030, sedangkan Lamongan hanya Rp 2.701.977. 

Seharusnya kepala daerah bisa melepaskan kebijakan pemerintahannya dengan kepentingan politik pribadinya. Jika tidak, yang jadi korban adalah masyarakat dan stakeholder pemerintah daerah yang lain. 

Itu seperti kasus UMK, tarif pajak daerah, dan berbagai kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. (*)

*) Dosen Ekonomi dan Bisnis, Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: