Wisata Sejarah Warisan Budaya (Kolonial): Diajak Menuju Lorong Waktu
Dengan pemandu wisata sejarah yang terampil dan warisan sejarah terpelihara, wisatawan dapat diajak memasuki lorong waktu yang jauh berpijak pada realitas kekinian. Seperti wisatawan yang sedang menikmati Hotel Majapahit, salah satu bangunan cagar budaya.-Ahmad Rijaluddin-
Kota Surabaya sesungguhnya memiliki empat gedung societeit besar, yaitu Concordia (1826), De Club (1850), Modderlust (1856), dan Simpang Societeit (1907).
Beruntung masih tersisa Simpang Societeit (Balai Pemuda) yang masih dirawat dengan baik sekaligus menjadi ruang publik. Dari sumber von Faber 1931, terlihat gambaran Simpang Societeit pada 1907 yang penampakan luarnya masih sama dengan saat ini.
Memasuki lorong waktu dengan objek besar mungkin masih representatif pada bangunan religi, bangunan kolonial, dan kawasan pemukiman kampung. Meskipun demikian, bangunan penyangga denyut budaya tak benda (intangible culture), misalnya komunitas teater dan kelompok seni pertunjukan, tidak mampu dipertahankan.
Pada awal abad ke-20, Kota Surabaya mempunyai gedung kesenian atau rumah komedi yang megah, yaitu schouwburg, yang dibangun pada tahun 1854 sebagai tempat pertunjukan teater/drama dan musik.
Setelah pusat seni pertunjukan itu runtuh, pagelaran kesenian berpindah ke Taman Huburan Surabaya (THR) pada tahun 1961. THR dibangun oleh pemerintah kota melalui proses alih kelola dan institusionalisasi dari Pameran Jaarmarkt (1905-1941) dan Pekan Raya Surabaya (1949-1960).
Alih kelola menarik perhatian karena limpahan keuntungan setiap penyelenggaraan kegiatan selama dua pekan. Kemudian THR sempat berjaya selama empat decade. Tetapi kini merana mungkin karena paradoks globalisasi yang semuanya ingin menjadi bagian masyarakat modern.
Sisi lain wisata sejarah yang sesungguhnya perlu mendapatkan perhatian serius adalah suatu tempat yang mengantarkan pengunjung kota dan bahkan warga Kota Surabaya masuk ke lorong waktu yaitu museum.
Museum, tempat berbagai pernak-pernik barang kecil klasik, yang mewakili zaman, peradaban, dan ruang domestik rumah tangga tradisional. Ranah domestik rumah tangga tradisional dapat dilihat melalui peralatan, seperti gentong, kendi, kendhil, klenthing (jun), kuali, layah, maron, dan kriya-kriya lain.
BACA JUGA: Sparkling Kalimas Jazz: Penampilan Musik Jazz, Wisata Kuliner, hingga Wisata Perahu
Tamu-tamu kota dari luar negeri jelas tidak tahu perangkat itu atau mungkin generasi Z juga sama tidak tahu peralatan itu karena peralatan domestik rumah tangga telah digantikan plastik.
Dengan metode klasifikasi dan ruang tampil (display) yang baik, pengunjung dapat masuk pada periode waktu dan ranah budaya. Tempat-tempat itu dapat diekplorasi oleh pengunjung dari luar negeri yang memang asing dengan Surabaya.
Melalui pemandu wisata sejarah (historical tour guide) yang terampil dan warisan sejarah terpelihara, maka pengunjung dapat diajak memasuki lorong waktu yang jauh berpijak pada realitas kekinian.
Menurut penuturan kawan yang telah lama bermukim di Eropa, kunjungan yang menarik bagi anak-anak saat liburan sekolah adalah museum. Liburan seperti ini mengajarkan sejarah bangsa melalui wisata sejarah. Supaya anak kecil tidak tetap menjadi anak kecil.
Kata Cicero, siapa yang tidak mengenal sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil.
Demikian refleksi atas pelayanan tamu-tamu luar negeri Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga sekaligus tamu kota Surabaya. Semoga pemerintah kota terus berbenah untuk ngopeni ruang-ruang publik klasik. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: