Cowok Normal Bisa Jadi Gay?

Cowok Normal Bisa Jadi Gay?

Dalam dunia queer atau homoseksualitas, kita tidak diarahkan untuk berpikir biner. Bisa jadi seorang laki-laki hanya bisa mempunyai hubungan romansa atau seksual dengan seseorang laki-laki tertentu. -Pexels-

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, individu dari semua lapisan masyarakat menggunakan “kemudahan” yang didapatnya dari “metode” tersebut agar tidak teropresi dan teralienasi dari lingkungan sosialnya yang pekat heteronormativitas. 

Bahkan di masa kini terdapat aplikasi yang memungkinkan seseorang mencari pasangan untuk perkawinan yang telah diatur sedemikian rupa untuk kenyamanan bersama.

Selanjutnya adalah jawaban kedua. Bisa saja sebelum menikah, cowok yang dianggap “normal” tersebut, sebelum dia menikah, ia tidak/belum memiliki pengalaman seksual di luar heteroseksual, tapi masyarakat terburu untuk mencap dirinya sebagai “normal” atau heteroseksual. 

Padahal sebagaimana yang disampaikan, setelah dia menikah, dan dia baru merasakan sekaligus menikmati hubungan seksual non-heteroseksual pertamanya. Dengan adanya pengalamanan tersebut, lantas seluruh tubuh dan otaknya mengatakan bahwa ia bisa bahkan merasa sangat menikmatinya.

Ya, sebelum romansa atau kopulasi non-heteroseksual tersebut terjadi, pengalaman tubuh, batin dan otaknya tak memiliki kosarasa tersebut. Ia baru menemukan kosarasa tersebut -sayangnya- justru setelah ia menikah.

Untuk itu, ungkap saya pada kawan saya, perlu bagi kita sedikit menunda kesimpulan. Perlu bagi kita untuk menunda untuk dengan tegas mengatakan bahwa diri kita “normal” atau heteroseksual.

Agar lebih mudah memaparkan pengalaman ketubuhan yang dialami oleh cowok-cowok “normal” yang ditanyakan oleh kawan saya itu, saya menggunakan analogi makanan.

Saya tanya padanya perihal jenis makanan apa yang selama ini yang semula tak pernah dia bayangkan untuk ia makan. Makanan yang selama ini tidak pernah sekaligus terlintas di dalam kamus kosarasanya tapi nyatanya jenis makanan tersebut ada.

Ia menjawab: “Daging babi. Makan babi guling!” Dia tak memakannya karena alasan normatif agama. ”Apakah ada masyarakat di belahan lain di dunia ini yang memakannya dan menganggapnya sebagai makanan yang wajar?” Tanya saya lagi.

”Ada. Itu tidak jauh. Tak perlu bagian dunia yang lain,” tuturnya. ”Bagi masyarakat Bali, babi guling adalah makanan yang wajar dan banyak ditemui di warung-warung makan”.

Selanjutnya, saya bertanya, “Lalu, pernahkah mencobanya?” Karena saya tahu bahwa untuk beberapa waktu yang relatif lama kawan saya tersebut tinggal di Bali. Jawabannya sudah bisa saya duga. Kawan saya mengaku bahwa ia pernah mencobanya dan ternyata enak.

“Itu yang saya maksud dengan normal dan tidak normal. Selama ini kamu menjauhinya, menganggapnya ‘tidak normal’ karena kamu dibiasakan, diatur, dikontrol untuk berpikir, bersikap, dan mengatakan demikian,” tutur saya.

BACA JUGA: Guru Besar yang Terspesialisasi atau Multidisiplin?

“Padahal kamu belum memiliki pengalaman tersebut secara personal. Itu pula yang saya katakan dengan menunda kebenaran. Untuk menunda mengatakan bahwa diri kita normal dan orang lain tidak normal,” beber saya lebih lanjut.

Sebenarnya ada satu hal labih yang lebih saya pedulikan untuk saya tanyakan; “Apakah kamu mau mengulanginya lagi begitu tahu rasanya enak?” Namun, saya putuskan untuk menunda pertanyaan tersebut. Agar tak keburu menghakimi kawan saya sebagai orang yang suka makan babi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: