Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Perempuan Aceh yang dipotret sekitar 1901. -National Geographic-

Beberapa perempuan lain yang tidak kalah hebatnya adalah Teungku Fakinah. Perempuan-ulama yang menjadi pahlawan; memimpin resimen dalam Perang Aceh. Setelah perang usai, Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam yang bernama Dayah Lam Diran. 

Pecut Baren, pahlawan perempuan bertahun-tahun memimpin perang terhadap Belanda (1898-1906). Dia tertawan dalam mempertahankan bentengnya setelah luka parah (1906). 

Cut Po Fatimah, pahlawan perempuan yang menjadi teman seperjuangan Cut Meutia, putri dari ulama besar, Tengku Khatim atau Teungku Chik Mata Ie.

Bersama suaminya, Teungku Dibarat, dia melanjutkan perang setelah Cut Meutia dan suaminya syahid. Dalam pertempuran pada 22 Februari 1912, Cut Po Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan (Hasjmy, 1976:25-26)

BACA JUGA: Sejarah Sumpah Pemuda: Para Pemuda Bicara Toleransi, Bahasa, dan Hak-Hak Perempuan pada Kongres Pemuda I

Melihat kiprah perempuan Aceh dan tentu perempuan lain di berbagai daerah di Nusantara, sepertinya terdapat missing link dengan mata rantai sejarah kita.

Pada abad-abad ini, khususnya pada abad ke-20 tampaknya telah terjadi pendomestikasian perempuan yang terefleksi dalam berbagai aspek dan bentuk.

Fragmen-fragmen historis tentang kehebatan perempuan Aceh dalam jejak sejarah Indonesia seperti yang tersebutkan di atas hendaknya tidak hanya -meminjam istilah Profesor Ibrahim Alfian- menjadi monumen kata untuk perempuan.

Tetapi seharusnya menjadi sumber inspirasi dan semangat bagi kaum perempuan Indonesia untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa. Semoga! (*)

Oleh: Sarkawi B. Husain, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: