Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Perempuan Aceh yang dipotret sekitar 1901. -National Geographic-

PEREMPUAN Aceh telah lama dikenal dalam sejarah. Baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai komandan perang. Ada pertanyaan: mengapa PEREMPUAN sebagai aktor sejarah sering kali luput dari perhatian? 

Setiap 10 November, kita memperingati Hari Pahlawan. Jika dihitung dari Pembaharuan Keputusan Presiden Republik Indoesia No. 316 Tahun 1959, maka peringatan tahun ini adalah yang ke-64. 

Pada tahun ini, pemerintah kembali memberi gelar pahlawan kepada orang yang dipandang memiliki jasa besar terhadap bangsa ini.

Walaupun tidak banyak perempuan yang diberi gelar sebagai pahlawan, tidak berarti kaum perempuan tidak memiliki andil yang besar dalam perjuangan melawan kolonialisme.

BACA JUGA: Sidang Pleno Kongres Perempuan Penjaga Hutan Indonesia Hasilkan Presidium Daerah Provinsi, Ini Daftar Namanya!

Perempuan Aceh misalnya. Dari sosok mereka, bisa dikaji bagaimana posisi perempuan dalam tulisan sejarah yang sering dibagi menjadi dua, yakni sebagai under represented dan miss represented. 

Dalam posisi pertama, misalnya dalam revolusi, perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap seperti tukang masak dan juru rawat.

Dalam posisi yang kedua, perempuan dianggap sebagai mahluk yang lemah dan domestik. Untuk kasus Indonesia, penulisan sejarah perempuan mengalami ketertinggalan. 

Dalam kajian sejarah di Amerika, misalnya, sejarah perempuan sudah menjadi spesialisasi tersendiri. Di samping cabang-cabang sejarah lainnya.

Hal terakhir ini tampak dalam terbitan American Historical Association (AHA), Teaching Women’s History yang merupakan buku panduan untuk pengajaran sejarah perempuan di SLTA dan tahun-tahun pertama universitas.

Sejarah kita yang konvensional dipenuhi dengan tema-tema sejarah politik dan militer, jenis sejarah yang paling menarik perhatian umum. Sejarah politik dan militer adalah sejarah tentang kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang selalu diklaim menjadi milik kaum laki-laki.

BACA JUGA: Kongres Perempuan Penjaga Hutan Indonesia Rancang Organisasi FPPHI

Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah kita bercorak androcentric, sejarah berpusat pada kegiatan kaum laki-laki saja. Gambaran masa lalu semacam itu tentu saja tidak adil, karena melihat perempuan sebagai second sex semata-mata.
Ada pahlawan perempuan Aceh yang muncul dalam uang rupiah. Tjut Meutia pertama kali digunakan pada emisi 1992. Sedangkan Tjut Njak Dien muncul sebagai gambar depan uang kertas Rp 10 ribu pada 1998. --

Selama ini kita telah meninggalkan perempuan, seolah-olah mereka tidak ada dalam sejarah. Tujuannya tentu saja bukan sejarah yang gynocentris atau sejarah dengan perempuan sebagai pusat. Tetapi sejarah yang lebih adil. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: