Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Perempuan Aceh yang dipotret sekitar 1901. -National Geographic-

Sejarah yang, baik kaum laki-laki maupun perempuan bersama mengambil bagian di dalamnya, yakni sejarah yang androgynous. Bahkan dalam sejarah politik dan militer pun yang kadang diklaim sebagai arena laki-laki, banyak perempuan yang terlibat di dalamnya.

Dalam sejarah Aceh misalnya, begitu banyak perempuan hebat yang memainkan peranan penting dalam perang melawan kolonialisme.

Beberapa perempuan hebat yang dimaksud antara lain: Laksamana Malayahati, pemimpin laskar perempuan yang memimpin pasukan “Inong Bale”. Dia tokoh yang sangat disegani dalam mengawasi pelayaran di selat Malaka pada akhir abad ke-16.

Aceh juga pernah diperintah empat ratu berturut-turut selama lebih dari 60 tahun (1641-1669). Dimulai dengan: Sultanah Tadjul Alam Safiat Al-Din Syah (1641-1675) sebagai penguasa ke-14; Sultanah Nur Alam Nakiyyat Al-Din Syah (1675-1678) sebagai penguasa ke-15.

Berikutnya Sultanah Inayat Syah Zakiyyat Al-Din Syah (1678-1688) sebagai penguasa ke-16; Sultanah Kamalat Syah (1688-1699) sebagai penguasa ke-17.

BACA JUGA: Tingkatkan Kapasitas Perempuan Penjaga Hutan, GFP Gelar Coaching Clinic dengan 7 Tema

Satu hal yang perlu dicatat misalnya, dalam masa pemerintahan Sultanah Tadjul Alam Syafiat Al-Din Syah, perkembangan hukum, kesusastraan dan ilmu pengetahuan sangat pesat.

Di bawah pemerintahan perempuan inilah lahir karya-karya besar dari pemikir-pemikir seperti Abd Rauf, hamzah Fansuri, dan Nuruddin Ar-Ranniry.

Dia sendiri adalah perempuan yang terpelajar, yang selain menguasai bahasa Aceh dan Melayu juga menguasai Bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Selain itu, dia juga berhasil menampik usaha Belanda untuk hadir di Aceh. 

Demikian pula, VOC tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah yang daerah lain pada pertengahan abad ke-17 sudah banyak dikuasai oleh VOC.

Sementara itu, Zentgraaff dalam bukunya yang berjudul Atjeh menulis antara lain: Cut Nyak Meutia, gugur bersimbah darah ditembus peluru Belanda yang dipimpin oleh Mosselman pada 1910.

BACA JUGA: Konferensi dan Kongres Perempuan dan Generasi Muda Penjaga Hutan Se-Indonesia, Diskusikan Apa?

Mosselman menggambarkan Cut Nyak Meutia sebagai perempuan bertubuh langsing, berkulit putih kuning dan memegang pedang yang telah dikeluarkan dari sarungnya. 

Selain itu, dia menggambarkan Pocut Meurah Intan yang pincang akibat terkena peluru Belanda dan dibuang bersama kedua putranya ke Blora, Jawa Tengah dan meninggal pada 19 September 1937. 

Cut Nyak Dien, sepeninggal suaminya Teuku Umar mengambil alih pimpinan perang dan tertawan pada 4 November 1905 dan dibuang ke Jawa. Dia meninggal dalam pembuangannya di Sumedang pada 9 November 1908.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: