Lewat Film Pendek Dragon’s Deception Karya Joshua Ephraim Santoso Ingatkan tentang Kreativitas sebagai Jawaban Masalah
Joshua Ephraim Santoso sedang mengarahkan adegan yang menggambarkan sang main character sedang menelepon istrinya. -Joshua ES-
HARIAN DISWAY - Film pendek berjudul Dragon’s Deception dibuat Joshua Ephraim Santoso untuk memenuhi tugas sekolahnya di SMAK St. Louis 1 Surabaya. Ceritanya terkait kehidupan gangster pada zaman dulu.
Hanya tugas sekolah tapi Joshua bekerja maksimal untuk membuat film pendek yang layak tonton. “Film itu sebagai syarat penilaian setiap siswa yang mengikuti pelajaran bahasa Mandarin. Makanya bahasa pengantarnya pakai Mandarin. Tapi ada subtitle Inggrisnya,” kata Joshua.
Dragon’s Deception berkisah tentang pembunuh bayaran yang setia dengan gengnya di Tiongkok pada era ‘1950an. Karena sudah lama tidak berjumpa dengan istrinya, ia memutuskan bahwa pekerjaan berikutnya adalah tugasnya yang terakhir. Yakni membunuh kepala geng saingan terbesar mereka yakni Zhang Meng Li yang diperankan Jessica Olivia Cuaca.
BACA JUGA: SMAK St Louis 1 Surabaya Gelar Pentas Teatrikal 10 November 1945
Selain itu, ada main character yang dimainkan Rowen Alessio Pangalila. Peran crime boss 1 ditunjuk Caitlyn Lauren Njoo, peran wife dipegang Naomi Freya Nugraha, Thug’s wife dimainkan Grace Natalia Djohan, lalu Thug sendiri diperankan Kenny Rafael Kristanto. Sementara selain menjadi sutradara, Joshua menjadi tokoh Wong.
Poster film pendek buatan Joshua Ephraim Santoso dkk berjudul Dragon’s Deception yang bisa dinikmati di YouTube channel Joshua Ephraim Santoso. -Joshua ES-
Tak bermaksud spoiler, Zhang Mei Li yang seharusnya dibunuh justru bisa menembak pembunuh bayaran yang menargetkannya. Hingga Zhang Mei Li ditangkap polisi. Ternyata, pembunuh bayaran yang menjadi main character itu tak lain adalah polisi. Ia punya strategi menangkap dua kepala geng terbesar di Tiongkok.
“Untuk menangkap mereka berdua itu memang susah. Jadi perlu cara jitu. Salah seorang di antara dua kepala geng ini harus terbunuh. Nah, yang membunuh itulah yang ditangkap polisi dengan alasan pembunuhan. Dengan begitu seorang kepala gengnya mati, seorang lagi dipenjara,” beber remaja kelahiran 15 Mei 2008 itu.
Tak heran bila Joshua mengambil cerita berlatar belakang kehidupan gangster. Ia sudah lama tertarik dengan genre film crime. ”Ketika ada tugas membuat film, aku langsung terbayang adegan para gangster. Aku memang pingin bikin film yang berbeda. Apalagi setahuku belum ada kelompok yang bikin film bergenre crime,” katanya.
Untuk menyelesaikan film berdurasi 11 menit 4 detik itu, Joshua sebenarnya punya waktu yang cukup yakni sekitar 3-4 minggu. Tapi itu tak bisa dimaksimalkan karena ia masih harus memprioritaskan tugas-tugas lain yang deadline-nya datang lebih awal. ”Akhirnya durasi untuk ngerjain proyek ini malah jadi mepet banget,” katanya.
Berkisah tentang dunia gangster di Tiongkok, banyak adegan perseteruan. Tampak sutradara membuat koregrafi para pemeran yang berantem. -Joshua ES-
Praktis, Joshua hanya punya waktu tak sampai seminggu. “Aku cuma punya lima hari saja untuk mengerjakan. Jadi, semua harus aku kerjakan dengan cepat,” kata Joshua. Dimulai dengan seharian menulis naskah. Itu pun diketik dengan smartphone. Disusul syuting selama dua hari. Plus editing selama dua hari pula.
Mengingat sangat kerja tayang, selama proses Joshua sempat bingung. Misalnya, saat menulis naskah, Joshua semula berpikir untuk membuat film single location. ”Awalnya, cerita ini berputar di beberapa gangster yang tengah menggelar pertemuan serius. Tapi kalau konsepnya begitu, pasti kurang menarik,” paparnya.
Untung ada ide lain. Cerita yang membutuhkan beberapa lokasi itu lantas disiasatinya. Joshua justru tak memilih memangkas setting cerita. ”Caranya, shoot di enam lokasi itu kami shoot di dua lokasi. Tapi kami mengatur ruangan-ruangan yang berbeda agar seakan-akan tempatnya berbeda,” bebernya.
Proses pengambilan adegan saat tokoh utama sedang melakukan rapat bersama bosnya. -Joshua ES-
Berbekal kamera Sony ZV-1 dan menggunakan sumber-sumber cahaya buatan, syuting benar-benar diambil di dua lokasi di Surabaya. Yakni di sebuah rumah kosong di Perumahan Serenity Kavling 83. “Satu lagi saya pakai kantor papa di Jalan Raya Darmo 54-56,” kata putra Nathan Santoso, founder Radjoetasa itu.
Setelah rilis pada 5 November 2023 lalu, Joshua lega. Ia dan dkk berharap bisa terus berkarya yang menginspirasi orang lain. “Padahal selama proses bikin stressful. Bayangkan, beberapa anggota kelompok kami harus syuting sambil mengerjakan tugas. Ada yang masih rapat OSIS pula,” kenangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: