Mengomunikasikan Esensi Hari Ibu: Bersuara Lebih Lantang
Di Indonesia, peran ibu itu dihadiahi dengan sebuah Hari Ibu. Diperingati setiap 22 Desember untuk memberikan penghargaan pada sosok yang mempertaruhkan nyawanya mengandung, melahirkan, menyusui dan kemudian membesarkan anak-anaknya. -Pexels-
Yang terakhir, publik tentu masih ingat gestur Ernie Meike Torondek, istri koruptor Rafael Alun Trisambodo -yang oleh suaminya disebut tidak punya uang sampai harus minta makan tetangga- jelas memamerkan hipokrisi. Karena pada saat yang sama bersirkulasi jejak digitalnya menjinjing tas bermerek dengan deretan gigi ber-veneer yang nilainya bisa mencapai ratusan juta.
Namun, menyalahkan sepenuhnya perempuan atau istri atas perilaku koruptif seorang suami membuat kita tidak dapat melihat faktor lain seperti adanya kesempatan, pengawasan, atau penegakan hukum yang lemah.
Maka, peringatan Hari Ibu sesungguhnya menjadi momen ideal untuk perempuan di seluruh Indonesia mengingatkan negara atas tanggung jawab mereka menjamin hak dasar dan hak politik perempuan.
Bahwa persoalan perempuan banyak yang belum terpecahkan, itu menjadi tanggung jawab semua pihak. Bukan hanya perempuan. Karena persoalan perempuan adalah persoalan induk yang jika tidak ditangani serius beranak pinak menjadi problem-problem baru yang kemungkinan besar bersilang-sengkarut.
KDRT misalnya, secara jangka panjang dapat mengakibatkan disabilitas pada korban bahkan disabilitas permanen. Belum lagi akibat ikutannya: perceraian, gangguan psikososial pada anak, dan stigma masyarakat.
Memperingati Hari Ibu bisa mengambil berbagai macam bentuk. Termasuk ungkapan rasa sayang dan terima kasih kepada ibu. Namun, penting kiranya untuk mengomunikasikan kembali esensi Hari Ibu yakni untuk menggugah kesadaran kolektif, mendorong solidaritas perempuan Indonesia.
Pengabaian kasus KDRT dengan berbagai dalih yang seringkali pada akhirnya justru membuat perempuan tersudut harus dihentikan. Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), setiap dua jam, lima perempuan menjadi korban dari pasangannya, menjadi bulan-bulanan di rumahnya sendiri.
Masih segar di ingatan, peristiwa Jagakarsa atau kasus Mega Suryani Dewi, dibiarkan begitu saja hingga berujung kepada kematian sia-sia. Itu belum termasuk kekerasan ekonomi yang nyaris tak terdeteksi. Kenyataan pahit, tapi negara perlu ditampar lebih keras pada hari bersejarah ini.
Persoalan perempuan adalah persoalan induk yang jika tidak ditangani serius beranak pinak menjadi problem-problem baru. KDRT misalnya, secara jangka panjang dapat mengakibatkan disabilitas pada korban bahkan disabilitas permanen. -Pexels-
Labelling negatif terhadap perempuan atas berbagai keadaan yang tidak menguntungkan barangkali adalah bentuk eskapisme yang paling gampang. Tapi harus dihentikan. Misalnya rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi atau ketidakmauannya ibu menjaga asupan nutrisi selama kehamilan selalu dituding sebagai penyebab stunting.
Fakta bahwa stunting juga merupakan ekses dari perkawinan usia dini, atau akibat beban ganda perempuan sebagai pencari nafkah jarang dilihat sebagai hulu persoalan.
Seksisme dalam framing media harus ditanggulangi dengan mendorong jurnalisme ramah perempuan. Contoh paling hangat adalah bagaimana media berita terkemuka menggiring opini bahwa pecah kongsi antara Jokowi dan partainya adalah agenda terselubung Ibu Suri yang dimaksudkan sebagai istri Jokowi.
BACA JUGA: Emak-Emak Laskar Prabowo 08 Jakarta Peringati Hari Ibu
Sang media besar bahkan salah memilih terminologi karena makna sesungguhnya ibu suri adalah ibu dari raja. Bukan ibu negara. Di sini, perempuan sebagai istri seolah-olah ingin dicitrakan sebagai makhluk yang serakah, kufur nikmat, haus akan hal-hal duniawi dan memanfaatkan suaminya untuk memenuhi keinginannya.
Mengomunikasikan esensi Hari Ibu berarti mengundang kesediaan para perempuan dan setiap warga negara untuk menyuarakan secara lebih terus terang. Lebih lantang tentang persoalan-persoalan perempuan yang gagal diselesaikan oleh negara.
Agar tak ada lagi kesan bahwa memberikan ucapan dan bunga kepada ibunda, mengambil alih tugasnya pada setiap Hari Ibu itu, sudah cukup. Negara juga harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya. (Oleh Prihandari Satvikadewi: dosen Komunikasi, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Untag Surabaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: