Sesal Pembunuh Sadis

Sesal Pembunuh Sadis

Ilustrasi pelaku pembunuhan menyesal. Pembunuh sadis itu menyesal.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ada tiga video yang isinya berbeda. Pertama, tentara berperang, membunuh musuh. Kedua, tentara berperang, tahu-tahu menembak warga sipil. Ketiga, tentara itu menembak, tapi tembakannya tidak mengenai siapa pun. Menembak ngawur dan tidak ada orang di target tembak. 

Kata Molenberghs, video ketiga berfungsi sebagai kontrol dalam riset. 

Ketika tembakan mengenai sasaran (kecuali nomor tiga), responden ditanya periset: ”Siapa yang kamu tembak?” Responden pun akan menekan tombol, tanda musuh, warga sipil, atau zonk. Cara periset untuk memastikan bahwa responden mengetahui apa yang telah mereka lakukan.

Dilanjut, responden ditanya periset, seberapa bersalah mereka pada setiap skenario dari tiga film yang ada. Rasa bersalah mereka dijawab dalam skala satu sampai tujuh. Juga, melalui tombol keypad

Jawaban tentang rasa bersalah responden itu mengonfirmasi reaksi jaringan saraf otak mereka yang terpantau periset di FMRI. Sebagai indikator penguat. 

Hasilnya seperti kesimpulan di atas. Yakni, semua otak manusia diberi kode khusus: Belas kasih. Sejak manusia lahir sampai mati. 

Jawaban-jawaban responden atas pertanyaan periset menjadi indikator penguat, bahwa mereka merasa sangat bersalah ketika tentara (representatif diri responden) menembak warga sipil. Sebaliknya, mereka merasa tidak bersalah ketika menembak musuh. Karena ini perintah perang. Membunuh legal.

Lebih mendalam, melalui pantauan FMRI, jaringan saraf otak responden diketahui tingkat sakit yang dirasakan di otak, ketika tentara menembak warga sipil. Ternyata responden merasa sangat sakit. Kira-kira setara dengan tingkat sakit warga sipil yang ditembak.

Riset tersebut suatu saat kelak bisa berkembang sebagai pencegah seseorang membunuh. Jika, orang itu bisa dipindai dulu otaknya dengan FMRI sebelum melakukan pembunuhan.

Dari riset Molenberghs, wajar jika Dede Jaya menyesal karena membunuh Sutomo. Dalam video rekaman CCTV yang beredar di medsos, tampak Dede menghajar bacokan celurit saat Sutomo meregang nyawa, tergeletak di tanah.

Dede: ”Saya sama sekali tidak punya rencana membunuhnya. Saya terlalu emosi.”

Padahal, hasil penyidikan polisi, Dede membeli celurit dan air keras beberapa hari sebelum hari pembunuhan. Beli lewat online.

Bahwa Dede menyesal, manusiawi. Namun, perkataan Dede yang terakhir itu tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Sebab, bisa diduga, motif perkataannya itu menghindari Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman hukuman mati. Diduga, ia secara instingtif mengarahkan ke Pasal 338 KUHP, pembunuhan biasa. Ancaman hukuman lebih ringan daripada Pasal 340.

Kalau rasa sesal Dede, itu berkorelasi dengan hasil riset Molenberghs. Sedangkan, ucapan ia soal tidak merencanakan pembunuhan terhubung dengan teori Bapak Kriminologi Dunia Cesare Lombroso (6 November 1835– 19 Oktober 1909).

Yakni, semua penjahat di awal interogasi polisi pasti tidak mengakui kejahatannya. Setelah polisi memaparkan bukti, penjahat barulah mengaku. Setelah mengaku, ia akan berusaha keras memperkecil kesalahannya. Itulah refleks kriminal. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: