Korupsi Semanis Madu Beracun
OTT yang dilakukan KPK yang marak di banyak tempat, justru terjadi jelang pemilu 14 Februari 2024. Lebih seru lagi karena peristiwa OTT tersebut terjadi pada Rajab 1445 Hijriah. --
Penyelenggara negara terlukis melumuri wajahnya dalam bungkus kebijakan anggaran yang disantap berjamaah. Penstudi hukum yang memperkenalkan beragam nilai mulia good governance, mengalami kejumudan. Demokrasi diinjak dan negara hukum dijungkalkan dalam balutan arogansi nan serakah.
Political Corruption
Langkah KPK membongkar korupsi telah menggelegarkan dentuman besar, karena aktornya “orang-orang top” yang menempuh jalan politik. Dalam lingkup demikian, benarlah apa yang diungkapkan Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston dalam bukunya Political Corruption (2009) yang menganalisis kedudukan finansial partai politik, sistem kampanye dan kompetisi politik, acap kali tergiring memasuki lahan kekuasaan politik yang bernama korupsi.
Terdapat kelindan seperti disindir oleh Pramoedya Ananta Toer sejak 1957 melalui novel Korupsi, bahwa korupsi telah bergerak dari urusan moral individual menjadi masalah sosial politik, sinyalemen yang membudaya. Naif, bukan.
OTT yang dilakukan KPK memberikan pelajaran besar kepada bangsa ini untuk melawan budaya korupsi. Kosmologi cendekia memberikan pekabaran yang sangat terang atas ajaran Plato (427-347 SM).
Di berbagai karyanya (Laches, Protagoras, Phaedo, Republik, Meno, Parmenides, Theaetetus dan Undang-undang), Plato merekomendasikan agar kekuasaan polis (negara kota) dipegang seorang filosof. Philoshoper memiliki cakrawala pandang yang komprehensif dan diniscayakan sanggup menampung segala beban rakyat.
BACA JUGA: Menyoal Debat Capres-cawapres yang Minim Substansi: Demokrasi Industri atau Industri Demokrasi?
Pemimpin yang filosofis diyakini mengerti dan mengamalkan falsafah negaranya. Tidaklah elok dalam negara Pancasila yang menormakan sumpah pejabatnya “dengan menyebut nama Allah”, ternyata ada tindakan korupsi. Negara yang berpancasila pantang menoleransi korupsi.
Plato menambahkan pula dalam buku dialogis klasiknya, Republik, bahwa kepemimpinan orang yang jujur jauh lebih menguntungkan. Jujur dan berintegritas adalah watak dasar pemimpin yang tidak akan tergoda gemerlap korupsi.
Bulan Rajab ini merupakan momentum religius untuk bercermin diri. Negara yang bernorma dasar (staatsfundamental norm) Pancasila tidaklah pantas dipameri tingkah pola korupsi yang berkelanjutan.
Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah diamanatkan Etika Politik dan Pemerintahan yang mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Betapa agungnya orientasi kolektif bernegara tersebut. Apabila sekarang, akhlak semakin terdegradasi dengan korupsi, Rajab hadir menyediakan ruang introspeksi.
Khusus untuk para pejalan korupsi, terdapat renungan yang dinarasikan dalam Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios) yang serupa legenda 1001 Malam (The Arabian Nights) seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014).
Bunyinya: “Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”.
Akhirnya, yakinlah bahwa rute terakhir armada kehidupan kepada kematian, antara penempuh jalur korupsi dan yang mengabdi, pastilah bersimpang jalan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: