Cucu Jantiko
KEPALA Kemenag Blitar Baharudin (kiri), Arif Afandi, Gus Sabuth, dan Gus Ferry sebelum penutupan Semaan dan Dzikrul Ghofilin Jantiko Mantab di Blitar Ahad malam.-Arif Afandi untuk Harian Disway-
Dalam setiap kegiatan Semaan dan Dzikrul Ghofilin, Gus Ferry tiba sebelum Magrib. Sedangkan Gus Sabuth menjelang Isya. Setelah selesai jamaah Isya, Gus Sabuth dan Gus Ferry baru naik panggung untuk meneruskan bacaan Dzikrul Ghofilin dan doa khatmil Qur’an.
SEORANG santriwati sedang sungkem ke Gus Sabuth di acara haul pendiri Lembaga Pendidikan Miftahul Huda, Gogodeso, Blitar.-Arif Afandi untuk Harian Disway-
Rangkaian acara seharian itu kemudian ditutup dengan tausiah (nasihat kebaikan) oleh Gus Sabuth. Ketika masih hidup, Gus Miek-lah yang menjadi gongnya.
Rasanya, kelak Gus Ferry bisa jadi yang akan meneruskan legasi merawat jamaah yang didirikan kakeknya. Jamaah yang tetap terjaga dan terus berkegiatan mesti pendirinya telah wafat.
”Jantiko Mantab ini tidak aneh-aneh. Tidak ikut cawe-cawe di luar kegiatan pengajian. Di luar khataman Al-Qur’an dan Dzikrul Ghofilin,” pesan Gus Sabuth kepada jamaahnya.
Gus Sabuth sendiri tampak sabar melayani jamaahnya. Sejak ia datang, puluhan santri sudah antre untuk bisa bersalaman dan mencium tangannya. Itu memang salah satu adab santri kepada kiai.
Apalagi, kiai khidmah yang biasa memimpin jamaah thariqah seperti Jantiko Mantab ini. Selesai memberikan tausiah, ia masih menyediakan waktu untuk jamaahnya.
Sambil tetap duduk di atas panggung, ia didatangi para jamaah untuk mendapatkan nasihat secara personal. Sebagian membawa botol minuman untuk didoai sang kiai. Hampir satu jam Gus Sabuth melayani para jamaahnya secara satu per satu. Masih tetap dengan duduk bersila di ujung panggung.
”Sabar sekali ya Gus Sabuth,” kata Choirul Anam, mantan lurah Gogodeso, yang ikut dalam kegiatan tersebut. Saat berhadapan dengan jamaah atau santrinya, seorang kiai memang tidak hanya menjadi ahli agama.
Ia menjadi tempat curhat dalam berbagai hal. Mulai soal keluarga sampai masalah utang piutang.
Sejak dulu kala, kiai dianggap sebagai tumpuan segalanya. Selain untuk menimba ilmu keagamaan, juga menjadi pengaduan dalam segala masalah kehidupan. Ketika memberikan ceramah, kiai –terutama dari kalangan pondok pesantren– biasanya bertindak sebagai motivator seperti seorang coach di komunitas profesional di dunia modern.
Tidak jarang, sepenuh hari-harinya kiai menyediakan waktu bagi para santri-santrinya. Menerima berbagai lapisan masyarakat untuk berkonsultasi dan/atau sekadar ”sambatan” tentang berbagai masalah kehidupannya. Karena itu, banyak kiai yang lebih memahami hati msayarakat ketimbang pimpinan formal lainnya.
Tidak banyak kiai yang berhasil mewariskan karyanya sampai ke anak cucu. Tak sedikit pondok pesantren yang menyurut saat ditinggal kiai utamanya. Tapi, tidak dengan Pondok Pesantren Al Falah, Ploso. Ponpes itu makin besar meski telah ditinggal pendirinya. Termasuk jamaah Jantiko Mantab tinggalan Gus Miek ini.
Eh, saya sempat usil menanyakan ke Gus Sabuth kenapa majelis semaan dan zikirnya dinamakan Jantiko Mantab? Apa artinya? ”Jantiko itu singkatan dari Jamaah Anti Kolir. Kolir itu istilah untuk kaum miskin, susah, dan kurang beruntung. Sedangkan mantab ya berarti yakin,” katanya. Dulu sebagian jamaah Gus Miek memang orang-orang bermasalah.
Yah… dulu kala pernah sekali ketemu dengan Gus Miek yang kematiannya ditangisi ratusan ribu orang. Kini saya masih dipertemukan dengan cucunya yang meneruskan warisan kebaikan yang telah dibikin kakeknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: