Pesan Ekologis untuk Capres-Cawapres Terpilih: Fenomena Banjir Jakarta dan Kegagapan Ekologis

Pesan Ekologis untuk Capres-Cawapres Terpilih: Fenomena Banjir Jakarta dan Kegagapan Ekologis

ILUSTRASI Pesan Ekologis untuk Capres-Cawapres Terpilih: Fenomena Banjir Jakarta dan Kegagapan Ekologis.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pembangunan yang menegasikan ”trisula dasar-dasar ekonomi, sosial, dan ekologi” diyakini akan mendegradasi metropolitan menuju nekropolitan, yaitu ”kota kematian bagi warganya”.

Dengan berbasis pendekatan klimatopolis, tidak ada lagi ungkapan bahwa banjir dan longsor itu disebabkan curah hujan yang tinggi. Ingatlah, hujan itu rahmat, bukan laknat. 

Mengapa berkah air hujun berubah menjadi bencana yang menewaskan warga negara? Pasti ada yang salah dalam mengelola wilayah. 

Pemimpin DKI Jakarta, Banten, dan Jabar wajib bersinergi membangun daerahnya dalam matra nasional bersendi iklim daerah. 

Jangan sampai kalau di musim hujan sibuk membenahi jalan, membuat sumur resapan, membersihkan gorong-gorong, sedangkan pada musim kemarau ramai-ramai tanam pohon dan rakor dari kantor ke kantor. Itu namanya pembangunan salah mongso, gagap klimatologis. 

Banjir yang melanda Jabodetabek melakonkan kembali cerita lama kepiluan sebuah kota dengan ungkapan vulgar nan sinis sebagaimana ditulis Kunstter: tragic sprawl scope of cartoon architecture, junked cities and ravaged country side.   

Mewujudkan Jakarta sebagai ibu kota dengan gedung-gedung jangkung (sangat maskulin) yang angkuh tanpa RTH (ruang terbuka hijau) yang memadai sangatlah naif. Bangunan yang menjulang sudah sering terbukti mengalami kelumpuhan saat melawan banjir bandang. 

Jakarta memerlukan penguatan orientasi wawasan ekologis bagi pengemban kekuasaan, dari visi  membangun kota yang maskulin ke arah kesadaran lingkungan yang feminis, setarikan napas sebutan ibu kota. 

Kita tidak ingin menyaksikan Jakarta tergelincir menjadi kota kerdil secara ekologis (junk city). Harus diresapi bahwa  Jakarta tidak cukup hanya ditopang uang dengan mengabaikan kepentingan lingkungan.   

Senyampang sebagai ”kota ibu”, Jakarta diniscayakan menyediakan telaga bagi ”anak-anaknya” (dapat direplikasi kota-kota lainnya).  

 

MENENGOK KE TRADISI

Kearifan tradisional telah mengajarkan tata kampung. Ingatan dapat dirunut  pada penataan kampung-kampung di Jawa abad ke-13 dan ke-14 seperti terekam di Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapanca, 1365. 

Setiap  padukuhan menyediakan hutan dan  telaga konservasi. Hutan dan telaga kota (embung) merupakan sentra kehidupan yang menjadi tandon air terpenting. 

Dari sanalah, setiap musim tanam, air dialirkan secara adil kepada warga untuk keperluan sehari-hari maupun pertanian dan perkebunan. Manajemen ”hutan-telaga” mendeskripsikan aliran irigasi yang  secara modern disempurnakan dalam bentuk pompa air. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: