Pesan Ekologis untuk Capres-Cawapres Terpilih: Fenomena Banjir Jakarta dan Kegagapan Ekologis
ILUSTRASI Pesan Ekologis untuk Capres-Cawapres Terpilih: Fenomena Banjir Jakarta dan Kegagapan Ekologis.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Kota itu memiliki 13 sungai yang ”didekap” dua sungai besar. Di timur ada Citarum, di barat ada Cisadane. Kali Ciliwung dan puluhan sungai lainnya hadir mengaliri ibu kota meski luapannya sering ”dikriminalisasi” sebagai penyebab banjir.
Jakarta di era kolonial dikenal sebagai Venesia dari Timur, kota yang dikelilingi sungai-sungai seperti Venesia (Italia) berkat kelok indah kali-kalinya yang bermuara ke pantura. Maka, pantura secara ekologis-planologis adalah basis konservasi yang jauh dari imaji properti, apalagi direklamasi.
Untuk itulah, pengurukan pantura jelas memorak-porandakan harmoni sosial-ekonomi dan ekologi pesisirnya dengan dampak negatif hilangnya biota air maupun daya dukung teluk penampung air.
BACA JUGA: Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (1): Menuju Green Leadership
Pegiat lingkungan Jakarta telah lama bereaksi sambil menerka: ”Dengan reklamasi, Jakarta makin tergenang dan tenggelam.” Penduduk Jakarta sangat mafhum atas konstelasi kewilayahannya yang rentan tenggelam, apalagi dengan agenda pulau buatan.
Dampak dari lahan kritis di Bogor bagi Jakarta amat mudah dibaca, tetapi negara seperti tidak hendak beranjak mengatasinya. Luas hutan di Puncak yang hanya tersisa 13 persen bukanlah angka statistikal yang melambangkan ”nasib sial”, melainkan manifestasi rendahnya komitmen ekologis pemegang kedaulatan rakyatnya.
Sejak tiga dasawarsa yang lalu terpotret adanya penyalahgunaan ruang di kawasan Puncak dan Jawa Barat. Banjir dan longsor yang kini menimpa merupakan panen atas kebijakan yang abai terhadap kepentingan lingkungan.
Tata ruang digilas oleh tata uang Jabodetabek plus. Jakarta pun menuai semua derita ekologi itu.
BACA JUGA: Darurat Iklim Memanggil Pemimpin Berkecerdasan Ekologis (2): Kampanye Bertema Lingkungan
FENOMENA BUNUH DIRI EKOLOGI
Tata uang di megapolitan telah mengembuskan pekabaran tentang ibu kota yang tengah ”bunuh diri ekologi” (ecological suicide). Memang kota-kota di Indonesia kerap menyuguhkan pentas penjungkirbalikan tata ruang yang tidak sesuai dengan landasan topografis-klimatologis.
Iklim pada hakikatnya adalah ”literatur alam” yang penting dalam merencanakan pembangunan. Manusia tak elok melawan cuaca, apalagi menyalahkan hujan, tetapi wajib mengelolanya secara keilmuan.
Terhadap hal itu, Matthew W. Kahn (2010) telah memublikasikan konsepnya dalam membangun kota yang bersandar pada pemaknaan iklim, climatopolis.
Mengonstruksi wilayah sesuai dengan kondisi iklim merupakan opsi utama yang searah dengan pembangunan polis (negara kota) sejak di era Yunani. Pembangunan negara kota itu pada mulanya lahir sebagai wadah ajaran demokrasi –yang kini dikembangkan menjadi tipe ideal tata kelola urban yang partisipatoris dengan pendekatan ekologis.
Model penataan itu dikualifikasi memasuki rumpun pembangunan kota berkelanjutan (sustainable city). Itulah pembangunan kota yang futuristis dengan mengintegrasikan secara harmonis antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: