Oleh-oleh dari Le Havre Normandie: Perang Normandia dan Skema PC

Oleh-oleh dari Le Havre Normandie: Perang Normandia dan Skema PC

Suasana lengang di pusat Kota Le Havre, kota kecil dengan penduduk kurang dari 200 ribu jiwa. Letaknya di pinggir laut (selat) dengan angin lumayan dingin ketika Februari.--Didik Sasono Setyadi

HARIAN DISWAY - Tahun ini adalah kali kedua saya ke Le Havre Normandie, Prancis. Banyak agenda yang membuat saya senang di sini. Mengunjunginya lagi, ada ingatan tentang sejarah Perang Normandia pada 1944 atau zaman PD II. 

Menuju Le Havre dari Paris tidak sulit. Dari Stasiun Saint Lazare, Paris, hanya perlu waktu sekitar dua jam sampai di pusat kota dengan naik kereta api SNCF Voyageurs. Ongkosnya sekitar 30 Euro sekali jalan.

Sepanjang perjalanan, kita disuguhi pemandangan alam Eropa yang khas. Melewati kota-kota kecil dengan bentuk rumah dan bangunan lain yang artistik. Dipadu dengan halaman dan ladang-ladang yang luas dan sebagian di wilayah baratnya terdapat bukit-bukit yang diselimuti salju. 


Suasana perbukitan di Le Havre Normandie yang jadi mirip sebuah lukisan karena saya potret dari jendela hotel saat berkabut.--Didik Sasono Setyadi

Sesampai di Le Havre jangan berharap bertemu tempat shopping barang-barang branded seperti layaknya di Paris ya. Le Havre hanya kota kecil dengan penduduk kurang dari 200 ribu jiwa. Letaknya di pinggir laut (selat) yang anginnya lumayan dingin ketika Februari.

Di kota inilah saya ingat tentang sejarah Perang Normandia pada 1944 atau zaman PD III. Sebuah invasi laut terbesar dalam sejarah dunia. Menurut catatan, hampir tiga juta tentara menyeberangi selat dari Inggris ke Perancis yang kala itu dikuasai Nazi Jerman. 

Pertempuran selama kurang lebih berlangsung dua bulan dengan D-Day yang dimulai pada 6 Juni 1944 dengan kode nama Operasi Overlord. Akhirnya Sekutu berhasil melumpuhkan dan sekaligus mengusir Nazi Jerman dari Normandia Prancis.  

BACA JUGA: Berkadar Oksigen Terbaik Kedua di Dunia, Konon yang Tinggal di Pulau Gili Iyang Bisa Awet Muda!

Selain itu, saya mengingat filsuf tersohor Jean Paul Sartre yang pada 1931 pernah mengajar filsafat di Le Havre. Ia mulai kondang sebagai sastrawan pemenang Nobel yang ditolaknya. Satu quote-nya yang sangat terkenal adalah: When rich people fight wars one another, poor people are the ones who die. Ketika si kaya berperang, maka si miskin lah yang menjadi korban. 

Sayang, selama di Le Havre saya tak berhasil menemukan jejak-jejak Sartre. Sekalipun sekadar patungnya. Tahun lalu, saya malah tak sempat mencarinya. Saat itu, Februari 2023, saya mengikuti konferensi The Rise of Asia in Global History and Perspective/La Montee De L’Asie en Historie et Perspective Globales di di Sorbonne Pantheon dan di Le Havre. 

Tahun ini agenda saya bertambah. Mengajar di Le Havre Normandie Universite. Universitas yang terhitung belum lama berdiri yakni pada 1984 itu hadir dengan multidisiplin ilmu dengan mahasiswa dari berbagai negara. Mayoritas berasal dari negara-negara Afrika dan negara lainnya. Terutama bekas jajahan Prancis.


Mejeng di depan kampus Le Havre Normandie Universite, tempat saya mengajar di dua program master degree.--Didik Sasono Setyadi

Atas undangan guru besar Le Havre Normandie Universite asal Indonesia Prof Dr Darwis Khudori, saya mengajar di program master degree International Business Law di Department of Law pada 13 Februari 2024. Satu lagi di program master degree Business with Asia di Faculty of International Affairs, pada 20 Februari 2024. Keduanya di bawah asuhan Prof Dr Jean Michel Lude dan Prof Darwis.

Saya mengajar tentang Production Sharing Contract (PSC). Skema pengelolaan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi, yang sangat tepat bagi negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. Skema ini menjadikan negara-negara pemilik sumber daya alam tidak kehilangan kedaulatan dan kesempatan untuk ikut mengelola kekayaannya secara aktif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: