Pulau Sebatik dan Nasib Wilayah Terdepan Indonesia

Pulau Sebatik dan Nasib Wilayah Terdepan Indonesia

ILUSTRASI Pulau Sebatik dan nasib wilayah terdepan Indonesia. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Akan tetapi, persoalan perbatasan juga harus dilihat dari perspektif sosial-budaya (sociocultural space). Dengan perspektif itu, batasan-batasan yang bersifat konvensional mencair. Perbatasan memiliki makna baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi hanya terikat pada pengertian yang bersifat teritorial (Tirtosudarmo, 2002). 

Pulau Sebatik adalah contoh yang baik untuk melihat problem wilayah perbatasan dari perspektif sosial-budaya. Di pulau itu mayoritas penduduknya beretnis Bugis yang memiliki banyak sanak saudara di Tawau. Tidak jarang mereka harus ke Tawau untuk menghadiri resepsi pernikahan, akikah, atau perayaan keluarga lainnya. 

Kedua, peningkatan status wilayah dari wilayah di Kabupaten Nunukan menjadi kota diyakini akan menjadi salah satu ”obat mujarab” untuk mengejar ketertinggalan pulau itu. 

Beberapa tahun lalu tim Universitas Airlangga yang diminta melakukan studi mendalam untuk memastikan layak tidaknya pulau tersebut menjadi kota sudah memberikan rekomendasi akan pentingnya pulau itu mendapat peningkatan status menjadi kota. 

Meski demikian, hingga sekarang nasib pulau tersebut belum jelas, apakah statusnya akan meningkat menjadi kota atau tetap seperti saat ini. 

Ketiga, perbaikan infrastruktur air bersih, pendidikan, transportasi, listrik, dan fasilitas publik lainnya harus mendapat penanganan yang serius. Untuk keperluan mandi di Desa Liang Bunyu, misalnya, penduduk mengandalkan air yang berasal dari mata air di gunung yang dialirkan dengan menggunakan bambu dan slang. 

Sementara itu, beberapa desa lain memanfaatan air hujan. Dengan kondisi itu, jika dibandingkan dengan Desa Sungai Pancang dan Aji Kuning, misalnya, Liang Bunyu benar-benar masih mewakili suasana desa dengan segala keterbatasan. 

Keempat, persoalan ekonomi, terutama lalu lintas barang dari Sebatik ke Tawau atau sebaliknya, harus mendapat perhatian serius. Di Desa Aji Kuning, terdapat sungai yang menjadi tempat keluar masuknya barang-barang dari Malaysia. 

Menurut warga yang berdiam di sekitar kawasan tersebut, Aji Kuning sudah sejak dahulu  hingga kini menjadi salah satu jalur masuk barang-barang dari negeri jiran. 

Berbagai barang yang datang dari Malaysia bukan hanya untuk kebutuhan sehari-hari warga Sebatik, tetapi juga dikirim ke Nunukan dan Tarakan. Barang-barang tersebut, antara lain, gula, gas elpiji, berbagai kue kering, ayam pedaging, telur, semen, pupuk, minuman kaleng, bawang putih, dan pakaian. 

Sebaliknya, berbagai hasil pertanian dari Sebatik seperti kakao, pisang, kelapa sawit, ikan teri, dan beras dijual ke Tawau. Walaupun sejak beberapa tahun lalu sudah ada larangan menyeberang ke Tawau melalui Sebatik, kita masih dapat menjumpai barang Malaysia yang dijual di Sebatik. 

Dengan melihat kenyataan itu, dapat disimpulkan ketergantungan hidup warga Sebatik dengan Tawau masih tinggi, walaupun sudah jauh berkurang bila dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. 

Hal itu disebabkan akses warga memang lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau menjual hasil usahanya ke Tawau, dibanding ke Tarakan atau daerah di Kalimantan Timur lainnya.

Tentu masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah akan nasib Pulau Sebatik dan pulau-pulau terluar lainnya sebagai salah satu halaman terdepan wilayah Republik Indonesia. 

Sudah terlalu banyak kunjungan yang dilakukan pejabat negara ke berbagai pulau terluar Indonesia. Membangun perbatasan tidak hanya mewujudkan Nawacita ketiga Pak Presiden, tetapi juga menjaga harkat dan martabat bangsa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: