Menyoal Stagnasi Undang-Undang Migas

Menyoal Stagnasi  Undang-Undang Migas

ILUSTRASI menyoal stagnasi Undang-Undang Migas. Peringkat investasi migas kita masih rendah. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ada pula Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, AL Jami’yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (Sojupek), serta beberapa nama pribadi-pribadi perseorangan. 

BACA JUGA: Ekspor Non-Migas Jatim Terbesar Tetap ke AS

Hasilnya, permohonan tersebut dikabulkan sebagian sehingga BP Migas harus dibubarkan. 

Namun, ketika sebelas dan hampir dua belas tahun lewat tidak kunjung terbentuk lembaga baru, ormas-ormas Islam itu seperti iklan Isuzu Panther zaman dulu, ”Nyaris Tak Terdengar”, lagi aktivitasnya untuk mengawal revisi Undang-Undang Migas tersebut. 

Akibatnya, terjadi stagnasi hukum di tengah kompetisi yang tajam antarnegara untuk meningkatkan investasi di bidang hulu minyak dan gas bumi. 

Pada 2007 saya menulis tesis yang kemudian telah saya terbitkan menjadi buku berjudul Politik Hukum dan Dinamika Penerapan Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi

BACA JUGA: Ekspor Jatim Naik, Non-Migas Melejit

Di sana saya pernah menulis ”.... Hak Menguasai Kekayaan Alam Minyak dan Gas Bumi yang ternyata tidak bisa dilepaskan dari konsep Kedaulatan Rakyat, sehingga pelaksanaan Hak Menguasai tersebut sangat bergantung pada bagaimana mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri ditetapkan dalam sistem/tata hukum nasional. Asumsinya, bila Kedaulatan Rakyat ”diejawantahkan dengan baik” baik pelaksanaan ”Hak Menguasai oleh Negara” akan berpihak kepada rakyat. Sebaliknya, bila Kedaulatan Rakyat kurang mendapatkan perhatian yang semestinya, maka pelaksanaan ”Hak Menguasai oleh Negara” makin jauh dari keberpihakan terhadap rakyat”. (Didik S. Setyadi, 2017)

Tidak kunjung dibuatnya revisi Undang-Undang Migas untuk menegaskan bagaimana tata laksana hak menguasai negara terhadap kekayaan alam minyak dan gas bumi itu menyiratkan adanya permasalahan dengan perwujudan kedaulatan rakyat. 

Mengapa? Sebab, lembaga legislatif (DPR) yang melaksanakan amanah kedaulatan rakyat dalam membentuk undang-undang tidak menjalankan amanah sebagaimana mestinya. 

Apakah itu berarti kedaulatan rakyat akan dikalahkan ”kelompok kepentingan” yang menikmati ketidakpastian hukum (baca: kesementaraan hukum) akibat pembatalan BP Migas, tetapi tidak kunjung dibuat dan ditetapkan lembaga baru penggantinya. 

Secara faktual memang saat ini lingkup pekerjaan BP Migas dikerjakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berdasar Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013. 

Perpres itu kemudian direvisi dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2018 yang ”tidak menguatkan” tata kelola usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dijelaskan dalam pertimbangan-pertimbangan putusan MK tersebut, tetapi malah makin membuat lembaga bernama SKK Migas itu tidak jelas ”jenis kelamin”-nya. 

Di mata umum, karena SKK Migas ini disebut ”satuan kerja”, sering diduga sebagai bagian dari organisasi kementerian karena urusan keorganisasiannya diatur dengan keputusan menteri (dalam hal ini menteri ESDM). 

Namun, di sisi lain, status ketenagakerjaannya bukanlah pegawai negeri yang diangkat, tetatpi diikat berdasar perjanjian kerja. Dengan begitu, sering timbul kecemburuan dalam soal compensation and benefit antara karyawan SKK dan pegawai negeri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: