Menyoal Stagnasi Undang-Undang Migas

Menyoal Stagnasi  Undang-Undang Migas

ILUSTRASI menyoal stagnasi Undang-Undang Migas. Peringkat investasi migas kita masih rendah. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MENURUT laporan IHS Markit (S&P Global), Desember 2023, Indonesia memiliki kemajuan (peningkatan peringkat) dalam daya tarik dan daya saing fiskal dan enabler investasi lainnya untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dari tahun 2020 sampai 2023. 

Sayang, dari aspek hukum dan kontraktual pada periode yang sama, terjadi stagnasi sehingga Indonesia ditempatkan pada posisi ke ke-13 dari 14 negara. 

Sebagai orang yang berlatar belakang hukum yang konon hidup di negara hukum, kita patut malu dan prihatin mengapa negara kita ini terkesan tidak serius dalam melakukan pembangunan hukum. 

BACA JUGA: Pertamina Jadi Perusahaan Migas dengan Peringkat ESG Nomor Satu di Dunia

Padahal, sebagai negara yang ingin menjadi negara tujuan investasi untuk menyambut Indonesia emas tahun 2045, kemajuan di bidang hukum itu mutlak adanya. 

Dari berbagai sumber yang saya dapatkan, stagnasi peringkat hukum negara Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain dalam penilaian HIS Markit itu, salah satunya, disebabkan tidak kunjung diselesaikannya revisi Undang-Undang Migas

Betapa tidak, saat ini kita sedang memasuki transisi energi yang ditandai dengan tuntutan penyediaan energi yang lebih bersih dan friendly terhadap planet yang kita tinggali. 

BACA JUGA: Nonmigas Pengaruh Buruk Ekspor Impor Jatim

Maka, semestinya momentum revisi Undang-Undang Migas dapat dimanfaatkan untuk mewadahi pengaturan transisi energi agar kita terhindar dari krisis energi dari ketersediaan maupun kemampuan daya beli masyarakat terhadap energi. 

Undang-Undang Migas telah diuji materiel oleh Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 36/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. 

Dengan demikian, terlepas dari pro-kontra terhadap substansi putusan itu, yang pasti, putusan tersebut bersifat final dan binding. Menyadari hal itu, sudah semestinya putusan MK tersebut ditindaklanjuti DPR dan pemerintah dengan melakukan revisi Undang-Undang Migas. 

BACA JUGA: Ekspor Nonmigas Melejit

Anehnya, sudah hampir dua belas tahun revisi Undang-Undang Migas tidak kunjung terwujud. Selama hampir sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi, isu revisi Undang-Undang Migas itu timbul dan tenggelam dan tak pernah jadi kenyataan. 

Dahulu, saat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu dibuat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, dan Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam mengajukan permohonan uji materiel undang-undang tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: