Khasanah Ramadan (5): Masjid sebagai Lumbung

Khasanah Ramadan (5): Masjid sebagai Lumbung

Jika masjid sebagai lumbung, maka ekonomi sandang-pangan akan bergerak dan bangkit dari masjid. --

HARIAn DISWAY - Saya tertegun. Subhanallah. Segala puja bagi yang memuja dan segenap puji untuk yang memuji. Kepada-Nya dipersembahkan. Teguhkanlah bahwa kebesaran dan kemegahan dalam bentang semesta merupakan gelombang kecil pada genggaman kuasa-Nya.

Tataran bima sakti yang membersitkan gerak galaksi dan memanggungkan putaran bintang-gemintang, bulan, bumi maupun matahari, berikut planet-planet yang bejibun jumlahnya sejatinya hanyalah seberkas “jasad renik” dalam arasy-Nya. Pelajarilah bagaimana planet-planet itu dalam Al-Quran dikreasi hingga diwerdikan sebagai bagian kecil saja dari tanda-tanda mahligai otoritas-Nya.

Untuk itulah Allah SWT memerintahkan agar manusia senantiasa berpikir karena di setiap dirinya ada separangkat “jaringan elektronik humanis” guna mendayagunakan akal. Berpikir adalah seruan-Nya dalam serumpunan firman-Nya.

Maka bertadabburlah (mengkaji secara tekstual) atas seluruh indikator-indikator kinerja alam semesta dalam Al-Qur’an tanpa henti sambil bertafakkur (mengkaji secara kontekstual) pada setiap percikan karya cipta-Nya. 

Pandangkan sorot mata ke segala arah, engkau akan menyaksikan ketidakterhinggaan sumber ilmu. Setiap titik koordinat yang mampu dijangkau oleh panca indera  pastilah menyentuh kosmologi  yang Allah SWT telah perhelatkan.

Tengoklah dengan dongakan berapa pun derajatnya dan rebahkan badan sampai pada lengkung sujud mana pun dan berpalinglah ke kanan, ke kiri, bahkan ke bawah sampai  dlosor, kita akan menyemai “tikar-tikar” iman yang semakin menebal apabila mau mempergunakan daya pikir. 

Jumputlah setiap debu yang kalian dapati, di situ diketemukan partikel  pembentuk gumparan tanah yang dapat menghasilkan berjuta halaman buku untuk menerangkan asal-muasal materinya.

Sampai pada lingkup inilah saya semakin memahami, mengapa dalam Islam diutamakan untuk lebih memikirkan apa yang seharusnya ditadabburi dan ditafakuri selain eksistensi Tuhan. Pikirkanlah ciptaan-Nya daripada engkau menjelajahkan nalarmu untuk Sang Maha Ada. 

Pada deret waktu ini saya terpesona atas hadirnya lingkar penjelajahan ruhani yang mendebar dengan sukma yang membuncahkan pesona Ramadan. Ini kali saya menyaksi sesuatu yang semula hanya sederet pejalan kaki untuk kemudian membentuk formasi yang menggelombang memanjang dengan pakaian mukena yang tampak memancarkan cahaya.

Saat azan berkumandang menandakan waktu salat Isya yang berbalut tarawih setarikan napas yang terhela lega, saya menafsir satu per satu kaum penyemat mukena itu ke luar seperti “sepasukan burung hud-hud” yang beriring berjalan sebelum akhirnya memenuhi  ruang-ruang masjid di setiap jengkal kawasan yang dihuni pengiman Islam. 

Pergerakan “mukena putih” itu berkelebat membentuk formasi yang hendak ditujunya: untuk menghantarkan raga bersukma menyimpuhkan diri di rumah Allah SWT dengan cita rasa paling sempurna.

Dari amatan inilah saya memberikan rasa hormat yang tinggi bahwa ibadah tarawih sesungguhnya memanifestasikan gerakan yang telah mampu membangun konstruksi sosial tentang perjalanan orang-orang menenun tauhid.

Tarawih adalah pergerakan tauhid yang melalui “ritual inilah” Tuhan memberikan al-furqon kaum pemanggul iman yang sedang menjemput hidayah.

Tidakkah ini sebuah keindahan sosial yang niscaya membisikkan kerinduan yang setia dinanti kedatangannya sebagai “tamu agung” di setiap tahunnya. Kelebat mukena dan lampitan sarung santri mewarnai malam-malam Isya. Ini adalah keindahan.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: