Kebon Otonomi

Kebon Otonomi

ILUSTRASI Kebon otonomi. Bukber mantan penggawa pengawal otonomi daerah di lembaga JPIP yang didirikan Dahlan Iskan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Tentu juga melibatkan para dosen Universitas Airlangga. Selain Haryadi, ikut menjadi tim perumus Drs Priyatmoko MA. Sedangkan tim riset diambil dari para fresh graduate universitas terbesar di Surabaya itu. 

BACA JUGA: Ambil Potensi Alam Desa Kebontungul, UBAYA dan UKMWS Bikin Kukis dan Teh dari Daun Jati

Dari tim tersebut, lahirlah agenda rutin tahunan untuk memberikan penghargaan kepada para kepala daerah yang inovatif di bidang ekonomi, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan layanan administrasi.

Ada banyak kepala daerah yang menonjol sebelum munculnya kepala daerah populer belakangan. Misalnya, dulu muncul Bupati Lamongan M. Masfuk, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Wali Kota Surabaya Bambang D.H. Di Jawa Tengah, salah seorang penerima Otonomi Award adalah Wali Kota Solo Joko Widodo. Nama terakhir itu sekarang presiden RI.

Ada dua sisi yang mengiringi perjalanan otonomi daerah. Satu, lahirnya para pemimpin daerah yang hebat dan inovatif. Kedua, munculnya raja-raja kecil baru. Kepala daerah yang lebih mengedepankan kewenangan barunya yang besar ketimbang tanggung jawab mereka. Kecenderungan kedua itulah yang memicu resentralisasi ke pemerintah provinsi.

BACA JUGA: Masuk Pasar Kebonagung, Siap-Siap Bayar Karcis

Ada satu yang tak terlupakan dari awal perjalanan desentralisasi pemerintahan dulu. Apa itu? Kegairahan untuk berkompetisi antar-satu kota dengan kota lainnya. Antara satu kabupaten dan kabupaten lainnya. Apalagi, desentralisasi tersebut diikuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sukses dalam memimpin menjadi penting untuk keberlanjutan karier politik mereka.

Sayangnya, saat itu desentralisasi pemerintahan tersebut tidak diikuti dengan desentralisasi politik. Kepemimpinan partai politik masih sangat sentralistis. Bahkan, tersentral kepada perseorangan ketua umum partai politiknya. Hal itu membuat aspirasi politik melalaui partai menjadi sering kali tidak sejalan dengan aspirasi politik di daerah.

Kita masih sering menghadapi problem dalam mensinkronkan satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Tidak hanya dalam sektor politik. Tapi, juga di sektor lainnya. Mulai layanan dasar kesehatan, administrasi, hingga pendidikan. 

Tidak ada guide line besar ke mana bangsa ini akan dibawa. Kepemimpinan politik yang bersifat figural menjadi makin lebih mengemuka. Politik lebih seperti politik selera personal. Bukan kepentingan publik.

Mungkin bukan lagi lembaga seperti JPIP yang dibutuhkan sekarang. Melainkan, lembaga civil society yang kuat untuk mengimbangi laju politik selera yang sedang mengemuka. Lembaga yang menjadi penyeimbang partai politik yang belakangan lebih berwajah oligarkis ketimbang sebagai agregator kepentingan publik.

Namun, siapa yang akan memprakarsai lembaga seperti itu? Tentu banyak aktivis dan tokoh cerdik pandai yang tergugah untuk memulai. Pasti akan ada sosok baru yang akan memimpin gerakan untuk mengalirkan arus keseimbangan baru untuk kebaikan masa depan bangsa ini. Saya percaya dengan Gus Muwafiq: negeri ini negeri yang diberkahi.

Saya sekadar cukup berbangga pernah membersamai satu generasi yang mempunyai peran penting di negeri ini. Hanya mulai dari spirit menjaga otonomi daerah, tapi bisa menghasilkan para pemimpin dan tokoh yang bergairah. Meski, ada juga pemimpin produk otonomi yang salah arah. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: