Taman Hiburan Rakyat (THR) Menanti Revitalisasi

Taman Hiburan Rakyat (THR) Menanti Revitalisasi

ILUSTRASI Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya yang akan dihidupkan lagi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kombinasi itu membentuk hubungan simbiosis mutualisme. Pameran menjadi ruang mengenalkan produk dan karya seni kriya, sementara  pertunjukan kesenian dan pertandingan digunakan untuk memeriahkan suasana. 

Itu merupakan strategi yang mampu menarik pengunjung. Animo masyarakat yang begitu kuat mendorong keterlibatan industri. Industri besar turut berpartisipasi memamerkan produknya pada 1923 hingga berakhirnya pameran jaarmarkt 1939.

Agenda pameran, kegiatan budaya, dan hiburan pada periode jaarmarkt dan PRS sesungguhnya tidak berbeda jauh. Pada periode PRS, dinas-dinas pemerintahan memanfaatkan ruang publik itu sebagai sosialisasi unjuk hasil dan program kerja pada masyarakat. 

Kombinasi antara pameran produk dan karya seni kriya yang dikemas dengan kegiatan budaya telah menghasilkan keuntungan yang kompleks.

 

REFLEKSI UNTUK AKSI

Deskripsi historis tersebut sebagai refleksi pengelolaan THR jika ingin dihadirkan kembali di tengah masyarakat kota. Perhelatan besar jaarmarkt, PRS, dan THR menunjukkan secara jelas kesinambungan pola kegiatan budaya dan ekonomi kerakyatan.

Agenda pameran dan kegiatan budaya di masa lampau hanya cermin. Mungkin agak naif jika kesenian populer masa lampau dihadirkan pada kegiatan budaya saat ini. 

Pengelolaan THR di suatu saat nanti adalah mengombinasikan karya seni budaya masa lampau dan seni budaya kekinian. Sungguh prestasi tinggi jika kesenian masa lampau mampu dihadirkan di masa kini. 

Menghidupkan THR tidak dimaksudkan untuk mewadahi tontonan masa lampau an sich hadir di masa kini. Zaman telah berubah, selera publik juga berubah. Setiap kurun waktu memiliki zeitgeist atau jiwa zaman, yakni hal dominan yang memengaruhi budaya pada masa tertentu. 

Oleh karena itu, patut dipertimbangkan adanya penawaran untuk THR sebagai ruang konser berstandar internasional. 

Konser musik internasional tentu bersifat temporal, hanya pada waktu tertentu. Sekiranya THR dapat dihadirkan lagi, kegiatan seni budaya dan ekonomi kreatif mungkin dapat dioptimalkan di sela jeda konser musik internasional. 

Masih ada komunitas seni dan pelaku seni kriya yang membutuhkan ruang untuk ekspresi dan publikasi. THR hanya mati suri saat ini, menunggu aksi untuk hidup kembali. (*)


Samidi M. Baskoro, dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya--

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: