Taman Hiburan Rakyat (THR) Menanti Revitalisasi
ILUSTRASI Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya yang akan dihidupkan lagi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
MENANTI geliat Taman Hiburan Rakyat (THR) sebagai ikon pusat hiburan kota adalah harapan. Mungkin setiap warga kota dengan pemikiran subjektifnya bertanya, mengapa membiarkan ruang publik yang sejatinya dapat dioptimalkan?
Bukankah pada masa gemilang, THR dengan berbagai kegiatan budaya mampu menyumbang pendapatan kota yang dipungut dari pajak tontonan. Secercah harapan datang ketika muncul gagasan pemerintah kota Surabaya hendak memfungsikan kembali THR pada Oktober 2023. Sebagian warga kota mungkin menanti dan berharap terwujud.
Apa pun konsep yang coba diusung pemerintah kota untuk menghidupkan kembali THR mendapatkan dukungan. DPRD Kota Surabaya sebagai representasi rakyat juga mendukung ketika muncul wacana itu. Namun, harapan sempat memudar bersamaan datangnya informasi pada awal April 2024, terkait tertundanya revitalisasi THR sebagai wahana hiburan kota.
BACA JUGA:THR Surabaya Mangkrak, Dulunya jadi Venue Pameran Kesenian Jaman Kolonial
Muncul gagasan dan penawaran baru dari investor untuk menjadikan THR sebagai ruang konser bertaraf internasional. Perubahan tersebut tentu berdasar perhitungan bisnis dengan pertimbangan untung-rugi.
Tulisan ini akan mengilustrasikan perjalanan THR, khususnya mulai embrionya pada masa kolonial hingga masa pascaperang kemerdekaan.
Setiap waktu perhelatannya selalu menghasilkan keuntungan finansial bagi penyelenggara dan yang utama menguatnya geliat budaya masyarakat kota.
Kilas balik sejarah ini mungkin dapat menjadi pertimbangan pemerintah kota.
BACA JUGA: Warga Surabaya Bakal Punya THR dan TRS Lagi
KILAS BALIK KESINAMBUNGAN SEJARAH
Cikal bakal pembangunan THR dimulai dari event tahunan pameran jaarmarkt. Secara kronologi, pameran jaarmarkt kali pertama diselenggarakan pada 1905 hingga 1939.
Pameran dan kegiatan budaya sempat berhenti selama beberapa tahun pada dekade kedua abad ke-20 karena faktor eksternal. Adanya wabah penyakit pes yang menjangkit penduduk kota (1910–1912) dan kekhawatiran merembetnya Perang Dunia Pertama di Eropa (1914–1916) ke Hindia Belanda.
Setelah kondisi eksternal mulai normal, pameran jaarmarkt diselenggarakan lagi pada 1923 yang berlanjut sampai 1939. Hal itu menunjukkan penyelenggaraan pameran dan kegiatan budaya tidak mengalami rugi.
Pada 1940-an, situasi politik tidak kondusif karena berkecamuknya Perang Dunia Kedua, runtuhnya kekuasaan kolonial, pergantian kekuasaan pada Jepang, dan perang kemerdekaan. Faktor eksternal itu mirip dengan periode 1910-an yang mengakibatkan pameran jaarmarkt berhenti lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: