Jurnalisme di Indonesia Adalah Perjuangan

Jurnalisme di Indonesia Adalah Perjuangan

Nanang Krisdinanto saat membedah buku berjudul: Runtuh dari Dalam saat menjadi dosen tamu di Universitas Mulawarman, Senin 20 Mei 2024-Potongan layar zoom-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Mengapa saya meninggalkan profesi ini? Kalimat itu merupakan judul dari salah satu jurnal yang pernah dibaca oleh Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Nanang Krisdinanto. Jurnal itu menceritakan banyak jurnalis yang meninggalkan profesinya.

Ia menilai, hal itu dipengaruhi karena rasa bersalah atau berdosa yang selalu menghantui seorang jurnalis. Mereka tidak lagi bisa independen dalam menyajikan suatu informasi kepada masyarakat. Dilema antara kepentingan perusahaan dan idealis jurnalis.

“Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Itu jurnal internasional. Terjadi juga di Eropa. Saya yakin, di Indonesia juga banyak jurnalis yang seperti ini,” kata Nanang saat menjadi dosen tamu di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Senin 20 Mei 2024.

BACA JUGA: Dosen Untag Surabaya Kembangkan Aplikasi, Bantu Jurnalis untuk Jurnalisme Data

Menurutnya, sejak tahun 60-an, ada transformasi kapitalisme dunia media. Modal adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari industri jurnalisme atau media. Ketika modal masuk, semua akan dimodifikasi. Termasuk dalam hal ini, inti dari jurnalisme: berita.

“Karena itu, bicara jurnalisme tanpa sokongan kapitalisme nyaris tidak mungkin. Tetapi, itu tidak bisa menjadikan suatu alasan untuk kita tidak membuat karya jurnalistik yang bagus,” ungkap penulis buku "Runtuh dari Dalam" ini.

Sebenarnya, masih ada pengusaha media yang tetap idealis mempertahankan produk jurnalistiknya. Mereka pun mencari jalan untuk keluar dari permasalahan yang kini menjerat mereka. Yakni masalah pemasukan.

BACA JUGA: Profesionalisme, Humanisme, Kesejahteraan SDM Jurnalistik dan Kreator Konten

Salah satu jalan keluar yang coba dilakukan adalah dengan membuat bisnis baru. Tetapi, Nanang menjelaskan, konsep itu juga terkadang melanggar etik jurnalistik. Ia menceritakan ada salah satu media yang dari usaha jurnalistiknya rugi. 

Tetapi media tersebut mendapat keuntungan dari bisnis lainnya yang mereka bangun. Bisnis lain yang terkait dengan media tersebut. Seperti: biro iklan dan event organizer (EO). Pengusaha media itu berdalih, dari usaha sampingan itulah mereka menghidupi medianya.

“Permasalahan yang timbul adalah jurnalisme ini digunakan untuk mencari klien. Termasuk mencari kontrak untuk menghidupi media tersebut. Titik itu terlihat ideal. Tetapi, praktik kesehariannya ia terpancing untuk menggunakan produk jurnalistik,” katanya lagi.

BACA JUGA: ’’Kuliah’’ Pengantar Jurnalistik di Harian Disway, Mahasiswa Widya Mandala Diskusi dengan Dahlan Iskan

Tetapi ia mengungkapkan, Indonesia punya sejarah pers yang berbeda dengan yang terjadi di daratan Amerika dan Eropa. Di dua daerah itu, sejak awal jurnalisme tumbuh adalah bagian dari bisnis. 

Berbeda dengan Indonesia. Jurnalisme hadir adalah bagian dari perjuangan. Karena itu, ada mentalitas bahwa wartawan itu mirip seniman. “Kalau kaya itu tidak pantas. Karena mereka itu aktivis,” bebernya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: