Bagi Hasil Tebu Emas

Bagi Hasil Tebu Emas

ILUSTRASI tebu emas. Tingginya harga tebu makin membuat petani makmur. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Salah satu proposisi yang muncul adalah SBH merupakan ekosistem yang dibangun berdasar paradigma produktivitas. Itulah paradigma yang mengoreksi paradigma profitabilitas yang sempat ”menggoda” BUMN gula. Paradigma profitabilitas lebih berorientasi pada keuntungan pabrik tanpa memikirkan petani tebu sebagai mitra.

Paradigma produktifitas berkebalikan dengan paradigma profitabilitas yang cenderung mendorong pabrik sekadar berburu rente. Itulah pandangan yang menempatkan produktivitas dari hulu ke hilir dalam industri pergulaan sebagai patokan. Bukan lagi sekadar mengejar laba untuk pabrik. Yang dalam kenyataan tidak selalu menghasilkan untung, tetapi malah buntung. 

Sejak tiga tahun terakhir, PTPN Group telah mengubah paradigma dan ekosistem pergulaan nasional. Selain  melakukan restrukturisasi dan konsolidasi korporasi, cara berpikirnya bergeser dengan bagaimana meningkatkan produktivitas tebu, termasuk tebu milik rakyat. Tata niaga tebu yang sempat terseret ke sistem SPT dikembalikan ke SBH.

Demikian pula dalam hal bahan baku. Selain menbenahi tata kelola pabrik, dilakukan upaya keras untuk meningkatkan produktivitas tebu petani. Makin produktivitas tebu petani meningkat, kepastian pasokan tebu untuk pabrik akan makin terjamin. Karena itu, memperbaiki relasi dengan petani tebu berarti memperbaiki kinerja pabrik pula. 

SBH dan transparansi dalam penentuan rendemen tebu menjadi kata kunci. Melalui bagi hasil gula dengan petani, menjadikan mereka bagian dari ”pemilik pabrik” yang harus ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungannya. Secara makro, pemantapan model SBH itu sekaligus merapatkan kembali negara dengan petani melalui pabrik gula milik BUMN.

Karena itu, PTPN Group kembali mulai giat membenahi on farm alias sisi tanamannya. Tahun ini mereka berhasil mengembangkan lahan perkebunan tebu yang bisa menghasilkan 230 ton tebu per hektare dengan rendemen rata-rata 8. Tebu itu kini ditanam di atas lahan HGU di Jatiroto, Lumajang. Saya telah mengunjungi lahan itu pekan lalu.

Bayangkan, jika itu berhasil –dan pertandanya demikian– per hektare bisa menghasilkan 18,4 ton gula. Dengan patokan harga acuan pembelian (HAP) gula yang telah ditetapkan Bapanas sekarang di angka Rp 14.500, sehektare bisa menghasilkan Rp 266 juta. Sungguh tebu emas. 

Jika pembagian hasil dengan PG seperti selama ini 30:70 persen, petani akan memperoleh 12,88 ton gula per hektare. ”Pokoknya, kalau bisa menghasilkan seperti yang ada dalam demplot kita ini, per hektare petani bisa mengangantongi Rp 100 juta. Bayangkan,” kata Direktur Operasional PT SGN Dodik Ristiawan.

Tentu tidak harus seoptimistis itu. Jika saja bisa menghasilkan rata-rata 100 ton tebu per hektare dengan rendemen 8 persen, 8 ton gula bisa dituai dalam setiap hektare lahan tebu. Dengan itu pun, petani tebu pasti sudah bisa tersenyum jika dibandingkan dengan hanya produktivitas 5 ton gula per hektare seperti selama ini. 

Sungguh, sistem bagi hasil dengan tebu emas akan makin menjanjikan. Tidak hanya untuk mewujudkan swasembada gula, tetapi juga menyejahterakan petani. Beginilah seharusnya negara bertindak untuk kedaulatan pangan. Agar rezim importasi gula tak menjadi ”panglima” lagi. (*)

*) Komisaris Independen PT SGN

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: