Taperum, Tapera, dan Pemberdayaan Idle Public Property

Taperum, Tapera, dan Pemberdayaan Idle Public Property

ILUSTRASI taperum, tapera, dan pemberdayaan idle public property.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Bagi masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan, program tersebut tentu sangat membebani. Kondisi pascapandemi Covid-19 menempatkan masyarakat yang berpenghasilan rendah masih dalam taraf pemulihan ekonomi. 

Mereka yang bekerja di sektor home industry dan buruh lepas usaha skala mikro sangat terbebani. Alokasi anggaran untuk golongan mereka masih prioritas pada kebutuhan konsumsi sehari-hari. 

BACA JUGA: Komisi V DPR Ajak Menteri Basuki Rapat Khusus Bahas Tapera: untuk Jawab Polemik di Masyarakat

Terdapat sejumlah alasan, kenapa di saat semua harga-harga kebutuhan pokok naik, pemberlakuan Tapera ”sangat jauh panggang dari api”. 

Alasan pertama, belum adanya kejelasan terkait dengan program tersebut, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. 

Secara matematis, saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan, iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun sehingga dalam jangka waktu 10 sampai 20 tahun ke depan, deposit uang yang terkumpul baru mencapai Rp 12,6 juta hingga Rp 25,2 juta. 

BACA JUGA: Menteri PUPR Sesali Kisruh Akibat Kebijakan Tapera: Kalau Belum Siap Ditunda Saja

Pertanyaan selanjutnya, apakah dalam 10 hingga 20 tahun ke depan tersedia harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta?

Alasan kedua, dalam kurun lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) mengalami penurunan 30 persen. Hal itu akibat upah buruh yang tidak naik hampir tiga tahun terakhir. Akibatnya, bila upah buruh dipotong lagi 3 persen untuk alokasi Tapera, beban hidup buruh akan makin berat. 

Alasan ketiga, secara konstitusi, UUD 1945 mengamanahkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menyiapkan dan menyediakan rumah yang murah untuk rakyat, sebagaimana program jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. 

BACA JUGA: Sandiaga Uno Sebut Gen Z Sulit Punya Rumah Tanpa Program Seperti Tapera

Alasan keempat, pelaksanaan program Tapera terkesan dipaksakan untuk pengumpulan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Potensi timbulnya kerawanan dalam penyalahgunaan dana iuran masyarakat cukup besar, dan aroma public distrust masih kental menyelimuti benak masyarakat ketika megaskandal dana ASABRI dan Taspen meledak, sampai kini pun masih belum hilang dari ingatan publik. 

Andai sedikit lebih kreatif, ada alternatif lain untuk memberdayakan program pengadaan rumah ketimbang mengutip dana dari masyarakat dan buruh. 

Misalnya, memanfaatkan lahan menganggur milik negara untuk pembangunan rumah vertikal (rumah susun atau flat) dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan. 

BACA JUGA: Kemnaker Tepis Tapera Memberatkan: Ini Bukan Potongan Gaji, Tapi Tabungan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: