Proyek PSN Surabaya Waterfront Land, Kepentingan Siapa?
Potret sejumlah nelayan yang hendak mencari ikan di sekitar Pantai Kenjeran, Surabaya.-Sahirol Layeli-Harian Disway-
Sementara itu, Pemkot Surabaya dan DPRD Kota Surabaya menjadi aktor pendukung yang melegitimasi secara politis atas rencana SWL berwujud waterfront city di Kenjeran.
Hal itu tampak dari pernyataan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang berharap agar proyek tersebut berjalan, dengan catatan dapat menyejahterahkan warga sekitarnya serta memperhatikan ekosistem sekitar.
Hal senada disampaikan DPRD Kota Surabaya, terutama komisi A. Meskipun, ada juga penolakan, terutama dari komisi C yang secara gencar mempertanyakan keterbukaan kajian serta informasi berkaitan dengan proyek tersebut.
Melihat pola yang tersaji bahwa proyek SWL ini berangkat dari atas ke bawah, di mana ditetapkan oleh pemerintah pusat, lalu secara agresif dilakukan pihak swasta, yakni PT Granting Jaya serta elite-elite politik pendukungnya, apalagi mendapatkan lampu hijau dari Pemkot Surabaya dan sebagian orang di DPRD Kota Surabaya.
Ditambah, mereka sedang gencar melakukan sosialisasi ke nelayan, lalu pendekatan ke organisasi nelayan hingga LSM. Itu menujukkan bahwa proyek ini bukan kehendak warga Surabaya, melainkan kehendak elite bisnis dan politik yang mengatasnamakan warga, dalam hal ini nelayan pesisir Kenjeran dan sekitarnya.
PROYEK MINIM KETERBUKAAN DAN PARTISIPASI
Meski PT Granting Jaya sudah bergerak cepat, bahkan klaimnya sudah melakukan studi kelayakan serta tengah mengupayakan studi lanjutan terkait antisipasi dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi serta menyiapkan skema-skema ”ramah lingkungan” serta ”prowarga nelayan”, penetapan PSN SWL di Kenjeran, Surabaya, sangat tidak memenuhi prinsip dan kaidah tata pemerintahan yang baik alias good governance.
Pada prinsipnya, tata pemerintahan yang baik, menurut Addink (2019) dalam bukunya yang berjudul Good Governance: Concept and Context, harus memenuhi prinsip kelayakan, transparansi, partisipasi, efektivitas, akuntabilitas, dan hak asasi manusia. Jika melihat dalam penetapan PSN ini, semua prinsip tersebut belum terpenuhi.
Misalnya, dalam konteks ”kelayakan” membangun di kawasan pesisir Kenjeran dengan kondisi pesisir yang tengah mengalami degradasi ekosistem, di samping itu untuk menjadikan proyek tersebut berjalan harus ada reklamasi, maka secara kelayakan tidak memenuhi. Sebab, standar kelayakan adalah suatu proyek tidak boleh bertentangan dengan kondisi riil serta berpotensi memperburuk keadaan.
Lalu, pada prinsip ”transparansi” dan ”partisipasi”, tidak ada satu pun dokumen yang dapat diakses, terutama landasan PSN ini ditetapkan, serta sejak awal warga tidak terlibat bahkan tidak pernah dimintai pendapat. Yang ada justru dipaksa menerima.
Jika merujuk pada ketiga prinsip tersebut, prasyarat tata pemerintahan yang baik tidak terpenuhi. Maka, secara tidak langsung, itu telah menunjukkan bahwa proyek tersebut jauh dari prinsip itu.
Secara politis pun, jika mengutip dari Rothstein (2011) The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective, tata pemerintahan yang baik bertumpu pada prinsip ketidakberpihakan.
Lebih jelasnya, para birokrat atau politisi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan publik dan bukan kepentingan pribadinya.
Tata pemerintahan yang baik mengacu pada adanya penjaminan atas partisipasi dari kelompok rentan dalam masyarakat seperti kelompok miskin dan minoritas serta jaminan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan untuk melakukan checks and balances alias saling mengontrol agar mencapai keseimbangan, khususnya partsipasi bermakna pemerintahan, pembentukan dan penegakan hukum.
Dalam hal ini dapat dimaknai juga keterlibatan mereka dalam sebuah agenda yang menentukan kebijakan (Grindle, 2004) dalam artikelnya yang berjudul Good Enough Governance: Poverty Reduction and Reform in Developing Countries.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: