Kugadaikan Kotaku: Ketika Laut dan Hidup Dipertaruhkan

ILUSTRASI Kugadaikan Kotaku: Ketika Laut dan Hidup Dipertaruhkan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
JIKA pada empat dekade silam, tepatnya penghujung tahun 1985, Gombloh musisi legendaris asal Surabaya mencengangkan jagat musik tanah air melalui karyanya yang fenomenal ”Kugadaikan Cintaku (Di Radio)”.
Sungguh berbeda dengan kondisi Kota Surabaya akhir-akhir ini. Di tengah semangat pembangunan dan ambisi menjadikan Surabaya sebagai kota maritim modern, sebuah proyek raksasa diam-diam mengubah wajah dan nasib sebagian warganya.
Surabaya Waterfront Land (SWL) –proyek reklamasi senilai Rp72 triliun yang membentang lebih dari 1.000 hektare di pesisir timur Surabaya– hadir dengan menjanjikan kawasan elite, bisnis, pariwisata, dan hunian mewah di atas laut.
BACA JUGA:Getol Tolak Proyek SWL, Forum Masyarakat Madani Maritim Gelar Beberapa Aksi
BACA JUGA:Atas Kemanusiaan, PD Muhammadiyah Surabaya Dampingi Warga Tolak Proyek SWL
Alih-alih menjadi layaknya karya indah nan legendaris sang trubadur tersebut, bagi warga pesisir, nelayan, petani tambak, dan anak-anak yang napasnya beraroma asin angin laut, ini bukan sekadar pembangunan.
Ini adalah penghapusan ruang hidup. Ini adalah bentuk baru dari pengusiran. Ini adalah saat di mana kota ini mulai digadaikan –demi mimpi orang lain yang tidak mungkin kami miliki, bahkan yang tidak pernah kami minta.
IDENTITAS YANG TERANCAM: LAUT SEBAGAI SUMBU KEBUDAYAAN
Surabaya bukanlah kota tanpa identitas. Di timur kota, ribuan warga bergantung hidup dari laut: menangkap ikan, mengelola tambak, menjaga hutan bakau, dan hidup berdampingan dengan ekosistem yang rapuh tapi kaya.
BACA JUGA:Forum Masyarakat Madani Maritim Deklarasi Tolak Proyek SWL
BACA JUGA:Kampanye Tolak Reklamasi SWL Bersama Lamri dan Abdinesia
Laut adalah sumbu kebudayaan. Ia bukan hanya sumber mata pencaharian, melainkan fondasi bagi cara kami memandang dunia.
Proyek SWL mengancam lebih dari 12 kampung nelayan, dari Kenjeran hingga Wonorejo. Akses ke laut terputus. Tambak-tambak yang dulu dikelola secara turun-temurun kini terancam digantikan pulau buatan.
Lebih jauh dari sekadar kerugian material, yang hilang adalah pengetahuan lokal (local wisdom) tentang pasang surut, musim ikan, dan cara mengelola bakau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: