Kugadaikan Kotaku: Ketika Laut dan Hidup Dipertaruhkan

ILUSTRASI Kugadaikan Kotaku: Ketika Laut dan Hidup Dipertaruhkan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Reklamasi itu bukan hanya masalah hak milik, melainkan masalah keadilan sosial-ekologis dan pengakuan atas martabat kebudayaan pesisir.
MENUJU PEMBANGUNAN BERBASIS KEDAULATAN BUDAYA
Kritik ini harus menjadi awal dialog, bukan akhir protes. Kami menuntut pemerintah dan para investor agar melaksanakan cultural impact assessment (CIA) dan mengadopsi metodologi co-creation yang menjadikan pengetahuan lokal sebagai data primer. Itu adalah bentuk kedaulatan budaya yang krusial.
Pembangunan harus didasarkan pada prinsip cultural relativism, menghargai bahwa ruang laut bagi warga adalah ruang sakral, bukan sekadar lahan kosong. Solusi konstruktif kami adalah mengalihkan investasi untuk menguatkan ekonomi biru berkelanjutan, ekowisata berbasis bakau yang dikelola komunitas, dan modernisasi perikanan tradisional.
Semua model itu bertujuan mengokohkan identitas maritim Surabaya yang autentik, berkeadilan distributif, dan menghormati warisan budaya tak benda warganya.
KOTAKU BUKAN MILIK SEGELINTIR ORANG
Surabaya adalah kota kami –bukan hanya mereka yang bisa membeli tanah di atas laut. Ini adalah rumah kolektif, warisan yang tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan modal semata.
Jika reklamasi tersebut terus berjalan tanpa pertimbangan lingkungan, sosial, dan keadilan, sejarah akan mencatat bahwa Surabaya membangun kemewahan di atas penderitaan rakyat pesisirnya sendiri. Kami menolak stigma yang menyebut kami penghambat kemajuan.
Kami adalah penjaga kearifan dan ekosistem yang telah merawat pesisir ini jauh sebelum cetak biru proyek itu dibuat.
Kami pun akan tetap di sini, menjaga laut, menjaga hutan, menjaga hak untuk hidup. Karena kota ini milik semua –bukan hanya mereka yang punya modal.
Kami adalah suara yang tidak akan pernah diam selama identitas dan ruang hidup kami terus digadaikan.
Kami menuntut kembalinya laut, kembalinya ruang, dan kembalinya martabat sebagai manusia maritim. (*)
*) Dhahana Adi Pungkas, academic dan urban cultural interpreter.
*) Achmad Muzakky Cholily, antropolog dan aktivis budaya Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: