Dinamika Politik Jawa Timur Jelang Pilkada 2024 (1): Tren Calon Petahana Mendominasi Bursa

Dinamika Politik Jawa Timur Jelang Pilkada 2024 (1): Tren Calon Petahana Mendominasi Bursa

KANDIDAT KUAT, pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak masih belum menemukan pesaing dalam Pilgub Jatim 2024. Mereka menerima rekomendasi dari DPP Partai Demokrat.-Harian Disway-

BACA JUGA:Menanti Jagoan Gerindra Malawan Dominasi Eri-Armuji di Pilwali Surabaya?

“Saya meyakini tingkat partisipasi untuk menggunakan hak pilih pada Pilkada 2024 akan rendah. Rakyat sudah semakin sadar bahwa suara mereka hanya dijadikan sebagai alat oleh para elite politik untuk memperoleh kekuasaan,” ucap guru besar Ubaya tersebut.

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro mengatakan, posisi petahana memang diuntungkan dalam beberapa hal. Misalnya, mereka sudah dikenal oleh publik.

Itu jelas mempermudah kerja-kerja partai politik. Menurut Verdy, pendekatan parpol itu sangat sederhana. Mereka mengusung calon yang potensial menang. Tidak mau sekadar aji mumpung apalagi uji coba.  

“Artinya, parpol tidak kerja dua kali, petahana sudah teruji, sudah terpilih, sehingga support tidak terlalu rumit. Mereka secara figur sudah populer. Mesin partai politik tinggal dipanaskan saja,” ucapnya kepada Harian Disway, Minggu, 11 Agustus 2024.

Selain itu, ia melihat fenomena dominasi petahana terjadi karena ketidaksiapan partai politik. Mereka belum punya opsi atau kader baru yang berani menantang petahana. Entah itu secara kemampuan, popularitas, maupun elektabilitas.


KANDIDAT KUAT, pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak masih belum menemukan pesaing dalam Pilgub Jatim 2024. Mereka menerima rekomendasi dari DPP PPP.-Harian Disway-

“Bukan berarti demokrasi sedang tidak baik-baik saja, bisa jadi terkendala di level kepemimpinan publik. Satu satunya petahana dan yang lain tidak berani berlayar, tidak muncul, itu artinya defisit demokrasi,’’ ucap Verdy.

Menurutnya, tren menguatnya petahana menjelang pilkada bisa berbuntut pada calon tunggal. Alias melawan “kotak kosong”. Jika calon petahana itu menjadi calon tunggal, jelas bahwa politik Indonesia masih tersentralisasi.

Publik pun menjadi tersandera. Esensi demokrasi adalah ada pertarungan politik, memberikan opsi kepada masyarakat untuk memilih pemimpin. Kotak kosong tidak layak disebut pilihan. Ini merugikan masyarakat dan mencederai asas demokrasi.

“Saya mengharapkan parpol bisa dewasa, bisa menciptakan iklim pilkada yang lebih sehat. Partai politik menang kalah silakan, tetapi jangan sampai masyarakat yang menjadi korban,” tandasnya. (*)

Dampak Koalisi KIM Plus ke Jatim, baca besok… (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: