Demo Tegakkan Demokrasi

Demo Tegakkan Demokrasi

Aksi demonstran mengawal putusan MK didepan Gedung DPRD Kota Surabaya--Muhammad Nurwahyudi: Harian Disway

Kemudian, putusan itu ditafsirkan aneka macam. Terkait kuantitas ambang batas partai politik dan kemungkinan jago yang bakal diusung ke pilkada. Heboh di masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat bukan jutaan orang. Bukan pula ratusan ribu. Bukan ribuan. Cuma segelintir orang yang paham dan punya tujuan menjagokan seseorang, dan ia dijanjikan dapat sesuatu dari orang yang dijagokan. Tapi, segelintir itu punya kemampuan (uang dan buzzer) memengaruhi banyak orang. 

Tiba-tiba DPR menganulir aturan MK. Akibatnya, segelintir orang itu mengamuk. Mengerahkan kekuatan (uang dan buzzer) agar menolak anulir DPR. Menggalang opini.

Dampak penggalangan itu sesungguhnya tidak seberapa. Cuma kecil. Hitungan gelintir. Tapi, gerakan tersebut menyatu dengan seruan orang yang lebih besar, yang menyatakan bahwa dengan anulir itu berarti demokrasi diacak-acak. Kalau demokrasi diacak-acak (oleh DPR), negeri ini sedang gawat, kata mereka. Maka, ”Ayo…. kita bangkit,” seru mereka.

Jumlah mereka yang menyerukan itu juga tidak banyak-banyak amat. Hitungan beberapa gelintir juga. Tapi, jelas lebih banyak jika dibandingkan dengan gelintiran yang pertama.

Jumlah pendemo cukup banyak. Aneka macam orang. Mahasiswa dan pemuda aneka profesi, tapi kebanyakan penganggur atau setengah penganggur. Sebab, kalau pekerja, mereka pasti bakal ditegur atasan alias terancam tidak naik golongan.

Misi demo sudah sukses. Pimpinan DPR RI Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan, Kamis, 22 Agustus 2024 menegaskan, revisi (tepatnya anulir) UU Pilkada tidak disahkan di rapat paripurna hari itu. Pendaftaran peserta pilkada di KPU, menurutnya, menggunakan hasil judicial review (JR) UU Pilkada yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Maksudnya: Putusan MK.

Dasco: ”Dengan tidak disahkannya revisi UU Pilkada pada 22 Agustus 2024 hari ini, maka pada saat pendaftaran pada 27 Agustus 2024 adalah hasil JR MK yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora.”

Intinya, DPR menyatakan ”balik kucing” ke putusan MK. Persoalan selesai. Sudah tidak ada masalah lagi.

Sementara itu, ribuan orang yang sudah berdemo di gedung DPR, di kantor MK, di berbagai kota besar Indonesia, balik lagi ke kegiatan mereka semula. 

Para mahasiswa kembali belajar di kampus, yang mayoritas menghafalkan teori-teori. Para pekerja yang membolos karena ikut demo kembali ke pekerjaan mereka. Balik lagi dimarah-marahi atasan mereka. Pemuda penganggur, ya tetap saja kagak ada kerjaan. Para pencopet beralih mencari lokasi lain (selain di depan gedung DPR) untuk mencari target copetan.

Para pendemo elite pun sedang menunggu isu lain untuk dijadikan bahan ajakan revolusi. Mereka menunggu isu yang kalau bisa lebih seru dari yang sudah-sudah. Supaya ajakannya lebih mantap lagi.

Gerakan demo itu cukup besar dari segi jumlah orang, dengan menguras energi besar pula. Sayang, energi itu tidak dicurahkan untuk, misalnya, pemberantasan korupsi yang sangat marak ini. Atau, berkreasi menciptakan sesuatu yang bermanfaat buat masyarakat dan diri penciptanya sendiri.

Masyarakat kini memang sedang demam demokrasi. Suatu kata yang berasal dari bahasa Yunani: demos dan kratos. Demos berarti rakyat. Kratos berarti kekuasaan yang mutlak. Demokrasi berarti kekuasaan mutlak ada pada rakyat.

Tapi, kekuasaan mutlak kini ada pada koruptor. Dan, mayoritas rakyat (dari populasi Indonesia) tidak mengerti, mengapa mereka dirugikan oleh koruptor? Toh, koruptor tidak mencopet duit dari kantong mereka? Di mana salahnya? Dan, hal itu membuat koruptor yang ketangkap KPK tersenyum sambil dada-dada ke wartawan, difoto, kemudian dilihat publik. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: