Implikasi Pembatasan BBM Bersubsidi

Implikasi Pembatasan BBM Bersubsidi

ILUSTRASI implikasi pembatasan BBM bersubsidi (pertalite dan solar).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ironisnya, kondisi itu diperburuk oleh kian tergerusnya daya beli kelas menengah sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Terjadi tren penurunan sejak saat itu. 

Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. 

Kontribusi pajak mereka sangat mungkin berkurang jika daya beli kelompok itu makin tergerus, dan pada gilirannya berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan. 

Pada gilirannya, terjadi perubahan situasi yang terbalik yang ditakutkan. Yaitu, kelas menengah sebagai kelompok penyumbang kas negara terbesar di sektor pajak akan terancam turun kasta menjadi kelompok penerima subsidi. 

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi menempatkan pemerintah pada posisi dilematis. Di tengah tekanan pelemahan ekonomi global, pembatasan itu ditempuh untuk mengurangi pembengkakan APBN. 

Sesuai persetujuan Badan Anggaran DPR RI, pemerintah menyepakati alokasi subsidi energi tahun 2024 sebesar Rp 189,1 triliun. Itu membengkak dari usulan awal dalam RAPBN 2024 sebesar Rp 185,8 triliun. Alokasi tersebut terdiri atas subsidi BBM tertentu dan LPG 3 kg sebesar Rp 113 triliun dan subsidi listrik Rp 75,8 triliun. 

Alokasi subsidi jenis BBM tertentu meningkat dari usulan awal RAPBN 2024 Rp 25,6 triliun menjadi Rp 25,8 triliun, sedangkan subsidi LPG 3 kg meningkat dari Rp 84,3 triliun menjadi Rp 87,4 triliun. 

Kenaikan alokasi subsidi BBM dan elpiji tabung 3 kg selaras dengan perubahan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP), dari semula USD 80 per barel menjadi USD 82 per barel. 

Di sisi lain, jika tidak dilakukan pembatasan BBM bersubsidi, pembengkakan APBN sangat memberatkan current account di tengah terbatasnya potensi penerimaan negara dari sektor nonmigas karena situasi global yang tidak menentu. 

Dipertegas oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah kesempatan rapat kerja dengan wakil rakyat, terjadi banyak perubahan pada prospek ekonomi domestik dan geopolitik global dalam beberapa minggu terakhir. 

Salah satu contohnya, harga minyak Brent yang naik menjadi USD 95 per barel atau meningkat 11 persen. Kondisi itulah yang memengaruhi perubahan pada alokasi belanja subsidi energi yang berimplikasi pada perubahan asumsi dasar penyusunan APBN. (*)

 


*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publlik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship, & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: