Diplomasi Bunga dan Kedamaian Semenanjung Korea
Kim Jong-un meninjau latihan militer setelah mengunjungi fasilitas pengayaan uranium di Korea Utara, September 2024.-KCNA VIA AFP-
KETEGANGAN itu terus menjadi-jadi di Semenanjung Korea. Serangkaian aksi perang urat syaraf diluncurkan oleh dua negara yang sejatinya bersaudara: Korea Utara dan Korea Selatan. Pekan ini, Korea Utara bahkan terang-terangan memamerkan kemampuan industri nuklirnya kepada dunia.
Kantor berita Agence France-Presse merilis berita pada 13 September 2024 bahwa pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-Un mengunjungi fasilitas pengayaan nuklir yang dinamai Institut Senjata nuklir. Di fasilitas tersebut, Kim terang-terangan minta fasilitas tersebut dilengkapi dengan sarana yang bisa meningkatkan senjata nuklir untuk pertahanan diri.
Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) juga merilis bahwa Kim mengunjungi sebuah fasilitas pengayaan uranium yang bisa jadi basis produksi persenjataan nuklir. Kim Jong-un, cucu pendiri Korea Utara Kim Il-sung juga menegaskan bahwa negaranya harus memikirkan tujuan jangka panjang yang lebih konkret. Terutama memperkuat fondasi untuk memproduksi material nuklir di ranah persenjataan.
Tentu saja, kecaman dari negara lain langsung menyeruak. Korea Selatan buka suara. Mereka mengecam fasilitas pengayaan uranium yang bertujuan untuk meningkatkan produksi material senjata nuklir tersebut. ’’Ini adalah pelanggaran yang jelas terhadap sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB,’’ kata juru bicara Kementerian Unifikasi Korea di Seoul yang ditulis oleh kantor berita Agence France-Presse.
BACA JUGA : Mengintip Seminar Ideologi Korea Utara di Pyongyang, Apa yang Dibicarakan?
Foto-foto Kim Jong-un dan fasilitas pengayaan nuklir tersebut memang bisa disebut sebagai salah satu alarm bahaya. Hong Min, analis senior di Institut Unifikasi Nasional Korea yang juga diwawancarai Agence France-Presse, mengatakan bahwa Kim Jong-un ingin mengunjukkan bahwa denuklirasi Korea Utara adalah sebuah hal yang mustahil. Dengan kata lain, perang nuklir bisa saja terjadi ketika eskalasi kedua Korea semakin meruncing. "Itu juga merupakan pesan yang menuntut negara-negara lain untuk mengakui Korea Utara sebagai negara nuklir," ucap Hong Min.
Sejak kali pertama menggelar uji coba nuklir pada 2006, Korea Utara memang kerap menggunakan nuklir sebagai sarana menggertak negara lain. Nuklir menjadi semacam kartu truf yang bisa dimainkan agar tercipta ketegangan baru di kawasan Semenanjung Korea.
Artinya, ketegangan di semenanjung itu belum benar-benar sirna sejak Perang Korea berhenti pada 27 Juli 1953. Ya, perang itu mandek. Tetapi belum berakhir. Kedua Korea hanya melakukan gencatan senjata. Tidak benar-benar meneken perdamaian. Dengan kata lain, kedua negara tersebut sejatinya masih berstatus perang sehingga ’’sah-sah saja’’ kalau salah satu pihak tiba-tiba melancarkan serangan.
Balon berisi sampah yang diterbangkan dari Korea Utara ke Korea Selatan.-Agence France-Presse-
Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan memang berada pada titik terendah dalam beberapa tahun terakhir ini. Sejumlah provokasi dilakukan oleh Kim Jong-Un. Mereka mengumumkan penempatan 250 peluncur rudal balistik di perbatasan selatan. Korea Utara juga telah membombardir Korea Selatan dengan balon berisi sampah.
Hal itu dibalas oleh Seoul dengan meletakkan pengeras suara raksasa ke arah utara. Mereka menyiarkan propaganda anti-Korut tanpa henti. Seoul juga mengatakan bahwa Korut telah menembakkan beberapa rudal balistik jarak pendek ke perairan timur Semenanjung Korea.
BACA JUGA : Mengenang Tragedi Korsel-Korut di Pengujung Juni 1950
Apa Peran Indonesia?
Indonesia tentu tidak menginginkan pecahnya perang terbuka di Semenanjung Korea yang bisa berujung pada penggunaan senjata nuklir yang pada dasarnya justru bisa membinasakan, bukan mendamaikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: