Pembubaran Diskusi Forum Tanah Air, Pergulatan Politik Jadi Kriminal

Pembubaran Diskusi Forum Tanah Air, Pergulatan Politik Jadi Kriminal

ILUSTRASI dua pelaku pembubaran diskusi politik yang diadakan diaspora Indonesia di Hotel Grand Kemang, Jakarta, yang sudah ditindak polisi. Keduanya adalah Fhelick E. Kalawali, 38, dan Godlip Wabano, 22.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Terpilihnya Prabowo dan Gibran sebagai presiden RI dan wakil presiden RI melalui pemilihan umum yang dipilih rakyat. Dalam ilmu politik, itu disebut hereditary politicians (politikus keturunan). Politisi terpilih (jadi pejabat tinggi negara) atas hasil pemilu.

Dikutip dari American Journal of Political Science volume 57, bertajuk Name Recognition Candidate, disebutkan bahwa hereditary politicians terpilih menjadi pejabat tinggi negara melalui pemilu karena name recognition candidate (pengenalan nama dan dukungan publik terhadap kandidat).

Jadi, terpilihnya Gibran sebagai wapres bukan politik dinasti, melainkan hereditary politicians atau politikus keturunan. Kemudian, oleh pihak lawan politik, itu diarahkan menjadi politik dinasti, yang jadi isu sampai sekarang. 

Mungkin, kalau diisukan secara benar (hereditary politicians atau politikus keturunan) terlalu sulit diucapkan publik. Sulit diviralkan. Bahkan, bisa membingungkan. Sebab, itu ilmu politik yang tidak dipahami publik secara massal. Kata ”politik dinasti” lebih seksi dan menohok (secara politik).

Namun, Gibran terpilih sebagai wapres akibat peraturan yang direkayasa di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika ketua MK masih dijabat Anwar Usman, yang menikah dengan adik kandung Jokowi, Idayati. Artinya, Anwar Usman adalah paman Gibran. Diduga, ada korelasi (hubungan kausalitas) antara rekayasa peraturan di MK dan terpilihnya Gibran. Karena aturan di MK direkayasa, Gibran terpilih.

Tapi, faktanya, Gibran terpilih oleh penghitungan suara pilpres. Dipilih rakyat. Satu paket dengan Presiden Prabowo Subianto yang eks menantu mantan Presiden Soeharto.

Dari sini jelas, terpilihnya Prabowo-Gibran bukan politik dinasti, melainkan hereditary politicians

Jika teori hereditary politicians dalam kasus ini dikaitkan dengan name recognition candidate, jelas bahwa kemenangan Prabowo-Gibran akibat name recognition candidate

American Journal of Political Science volume 57 menyebutkan bahwa name recognition candidate terkait persepsi publik ketika ikut pemilu (mencoblos).

Name recognition dalam politik adalah kemampuan rakyat pemilih untuk mengidentifikasi nama kandidat karena sejumlah paparan sebelumnya melalui berbagai metode kampanye. 

Itu sebagai kesadaran pemilih tentang kandidat tertentu yang dihasilkan dari berbagai bentuk iklan kampanye. Beberapa metode periklanan untuk meningkatkan kesadaran publik yang digunakan kandidat yang mencalonkan diri untuk berbagai jabatan meliputi: membuat iklan pribadi dan ideologis yang profesional, pengumuman layanan publik, kerja komunitas dengan demografi pemilih target, dan penampilan publik melalui paparan media massa. 

Ketika publik pemilih merenung untuk menentukan pilihan, mereka dipengaruhi faktor-faktor tersebut di atas. Tapi, renungan publik yang dinilai paling kuat adalah: Siapa kandidat itu? Anak siapa mereka? Atau, cucu siapa mereka?

Prabowo adalah eks menantu mantan presiden. Gibran adalah anak presiden (masih berkuasa). Akhirnya, menanglah mereka. Hereditary politicians. Bukan politik dinasti.

Hereditary politicians sama dengan Megawati Soekarnoputri jadi presiden RI karena dia adalah putri Presiden Pertama RI Soekarno. Megawati dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi presiden RI.

Tepatnya, 23 Juli 2001, MPR mencopot KH Abdurrahman Wahid dari jabatan presiden RI, kemudian mengangkat (dari hasil pemilihan di MPR) Megawati sebagai presiden baru. Itulah hereditary politicians. Bukan politik dinasti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: