Maling Motor Dibunuh Massa
ilustrasi pencurian sepeda motor.--
Saat itulah warga menghajar Reza. Mengerikan. Maling teriak minta ampun. Warga tak peduli. Tetap menghajar maling.
Ibu-ibu di situ berteriak, mencegah warga menghajar maling. ”Sudah dong… Sudah… Kasihan,” teriak seorang ibu. Warga tetap tak peduli. Tetap menghajar maling. Di antara pria yang menghajar maling, mendamprat si maling: ”Bajingan lu… Kami kerja keras hasilnya cuma sedikit. Elu enak aja nyolong.”
Tahu-tahu, tubuh Reza diseret dua pria, dimasukkan ke selokan di pinggir jalan.
Kemudian, datang dua pria lainnya yang mengangkat sebuah batu kali besar, kira-kira sebesar anjing dewasa. Batu itu dihunjamkan dengan keras ke tubuh Reza yang terkurung di selokan. Hunjaman batu tersebut jadi dahsyat karena terbantu gravitasi bumi. Bum… Pastinya tubuh itu remuk. Reza sekarat, akhirnya tewas di tempat.
Nasib Satria lebih bagus. Ia babak belur dihajar warga. Di saat kritis, tim polisi datang mengamankan Satria dari amuk massa. Nyawa Satria terselamatkan, tapi terluka parah.
Proses itu sangat cepat. Menurut saksi mata, proses dari saat pelaku mengeluarkan motor dari rumah korban sampai tewas dihakimi massa tak sampai sepuluh menit. Jumlah massa sekitar seratus orang.
Sementara itu, korban Sumarno yang bertarung melawan Satria dilarikan ke rumah sakit. Luka-luka robek di tubuhnya dijahit. Malamnya ia sudah boleh pulang dari RS.
Barang bukti yang diamankan polisi adalah 1 kunci letter T dan magnet pembuka lubang tutup kunci, 2 senjata mainan pistol jenis doblis, 1 sepeda motor Honda Vario yang digunakan dua terduga pelaku. Lalu, Motor Honda Beat milik korban.
Menanggapi tragedi itu, pendapat warga bisa beragam. Ada yang bersyukur karena kini marak pencurian kendaraan bermotor, bahkan begal motor bertindak kejam. Ada yang menyayangkan, seperti ibu-ibu di TKP. Ada yang menyalahkan penegak hukum. Sebab, main hakim sendiri tanda bahwa penegak hukum dianggap gagal sehingga berlaku pengadilan jalanan. Ada yang menganggap, itu akibat kemiskinan parah (pelaku dan warga) sehingga mereka bertindak brutal.
Pengadilan jalanan di Indonesia marak selama seperempat abad terakhir. Kondisi itu disoroti media massa internasional sejak lama. Sejak awal era reformasi. Mengapa dikaitkan reformasi? Sebab, media massa asing menganalisis begini:
Dikutip dari Los Angeles Times, 21 Desember 2000, berjudul Indonesian Justice Run Amok disebutkan, Indonesia selama 32 tahun dipimpin Presiden Soeharto, masyarakat tidak berani bertindak sendiri-sendiri. Apalagi, melakukan pengadilan jalanan. Sebab, aparat penegak hukum bertindak keras. Khususnya terhadap lawan politik pemerintah. Itu membikin masyarakat takut.
Soeharto lengser 21 Mei 1998. Berganti ke era reformasi. Pemerintah yang baru menyebutnya sebagai penegakan demokratisasi (transisi ke rezim politik yang lebih demokratis).
Sebagai konfirmasi, Los Angeles Times waktu itu mewawancarai Prof Sardjono Jatiman, guru besar sosiologi Universitas Indonesia, yang mengatakan, “Yang kami miliki sekarang adalah kebebasan demokrasi tanpa ketertiban. Jadinya, orang merasa bebas bertindak apa saja, mengabaikan ketertiban.”
Media massa itu juga mewawancarai seorang komandan polisi di Tangerang (tidak disebut identitas), yang mengatakan, ”Orang-orang mengira ada demokrasi dan mereka bisa melakukan apa saja. Akibatnya, mereka merasa tidak bersalah bertindak apa pun karena sekarang era demokrasi. ”
Liputan Los Angeles Times di Indonesia pada seperempat abad lalu itu ternyata masih relevan untuk Indonesia hingga sekarang. Fokus pada pernyataan Prof Sardjono Jatiman itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: